SYEIKH
NAWAWI ALBANTANI
Mengabdikan
hidup Untuk Pendidikan
Oleh
Imaduddin
utsman, MA
Syeikh Nawawi al Bantani
bukanlah nama asing di ranah keilmuan Islam di nusantara, khususnya di dunia
pesantren dan perguruan tinggi Islam. Karangan-karangannya menjadi rujukan dan
bahan kajian keislaman. Puluhan karyanya
menjadi buku wajib di banyak pesantren di Indonesia ,
Malaysia , Brunei , Pilipina Selatan dan
Tailand selatan. Kitabnya yang paling terkenal adalah tafsir Maroh Labiid atau
yang lebih dikenal dengan tafsir munir.
Berbagai
pemikirannya dalam bidang fikih, teologi, tafsir dan tasawuf menjadi bahan
penelitian dalam skripsi, tesis dan desertasi baik di dalam negeri maupun luar
negeri. Seperti di universitas Mc Gill, Kanada, pemikiran tasawuf Syeikh Nawawi
menjadi sebuah judul tesis oleh seorang
mahasiswa pascasarjana di sana .
Syeikh Nawawi adalah putra Indonesia
yang menjadi ulama dunia yang fenomenal yang memiliki lebih dari seratus karya
popular. Keilmuannya yang paripurna dari berbagai disiplin keilmuan
menjadikannya mendapat gelar dari ulama-ulama sejamannya di syarq al awsath (timur
tengah) dengan “sayyidu ulama’I al
hijaz” (penghulu para ulama di negeri Hijaz).
Mengenal
Syeikh Nawawi Al Bantani
Syeikh Nawawi al Bantani bernama
lengkap Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani al Jawi. Nasabnya
bersambung dengan rasulullah, Muhammad SAW, melalui Maulana Hasanuddin, sultan
Banten pertama. Lahir pada tahun 1813 M di perbatasan antara Serang dan
Tangerang tepatnya di Tanara, serang,
Banten. Bertepatan dengan jaman awal keruntuhan kesultanan Banten.
Ayahnya, Umar bin Arobi, adalah
seorang ulama di kampungnya. Nawawi belajar pertama kali tentang keilmuan
keislaman dasar dari sang ayah. Setelah itu ayahnya menitipkannya kepada kiayi
Syarif atau yang lebih dikenal dengan ki Ayif di Cakung, kresek (sekarang
dipekarkan menjadi kecamatan Gunung Kaler). Kemudian belajar di Kota serang kepada Kiayi
Sahal, seorang ulama wara’ keturunan Syeikh Ciliwulung, pendamping Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan
agama Islam di wilayah Banten utara.
Masa kecil Nawawi dipengaruhi oleh
masa perjuangan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah yang secara
sporadic terjadi di berbagai wilayah di Banten. . Baik terhadap Belanda maupun
terhadap pemerintahan boneka kesultanan Banten yang pada waktu itu telah berada
secara de facto di bawah Belanda.
Setelah beranjak remaja, Nawawi
bermaksud bergabung bersama kerabatnya dalam barisan askar perlawanan,
namun ayahnya segera membuangnya ke Purwakarta untuk berguru kepada Syeikh
Yusuf. Agaknya ayahnya telah menyadari bakat Nawawi dalam ilmu pengetahuan
sehingga sengaja ayahnya menjauhkan Nawawi dari berbagai kejadian di Banten.
Padahal saudara dan karib keluarga Nawawi banyak yang terjun dalam barisan
perlawanan.
Setelah
beberapa waktu di Purwakarta, nawawi di
berangkatkan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di sana . Di Makkah Nawawi
berguru kepada Syeikh Sayyid Ahmad al Nahrawi, pengarang kitab al durr al
fariid, tentang ilmu teologi. Selain kepada al Nahrawi, Nawawi juga belajar
kepada Syeikh Sayyid Ahmad al dimyathi, pengarang kitab syarh al waraqaath,
mengenai ilmu ushul fiqh, juga kepada Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
pengarang kitab mukhtashar jiddan, tentang ilmu gramatika arab.
Selain di Makkah, Nawawi juga
menuntut ilmu ke Madinah, Mesir dan Syam (Suriah, Libanon, yordania dan
palestina). Di Madinah Nawawi belajar ilmu hadits musalsal kepada Syeikh
Muhammad khathib Duma al Hanbali.
Pada
tahun 1833 Nawawi mendengar berita dari para haji yang berangkat dari Banten ke
Makkah bahwa keadaan di Banten semakin tidak menentu. Sulthan Rafiuddin, yang
menjadi sulthan di bawah bayang-bayang belanda bahkan kini telah disingkirkan
Belanda dan di buang ke Surabaya .
Pejuang-pejuang Banten yang dulu sebagian masih menahan diri memberontak kepada
sulthan karena alasan bahwa bagaimanapun sulthan Rafiuddin adalah keturunan
Maulana Hasanuddin, kini setelah Sultan Rafiuddin disingkirkan merekapun
bergabung bersama askar yang sejak tahun 1808 (masa dihancurkan dan
dibakarnya kraton Surasowan) memberontak terhadap pemerintah.
Berita
itu membawa jiwa muda Nawawi tidak tenang. Kemudian ia memutuskan pulang ke
Banten. Malu bagi Nawawi berada dalam ketenangan dan
kedamaian di Makkah sementara tanah airnya berada dalam suasana kekacauan.
Ketika
telah sampai di Banten, Nawawi harus kembali menghadapi cegahan sang ayah untuk ikut berperang. Sang ayah
mnganjurkan Nawawi selalu berfokus terhadap ilmu pengetahuan. Menurut sang
ayah, tidak semestinya semua putra Banten harus terjun ke medan perang, justru harus ada mereka yang
mau menekuni ilmu pengetahuan. Kemudian sang ayah memerintahkan Nawawi untuk
pergi ke Karawang untuk berguru kepada Syeikh Quro.
Sekitar
tujuh belas tahun Nawawi berada di tanah air. Setelah beberapa tahun berguru
kepada Syeikh Quro, Nawawi membantu ayahnya mengajar di pesantren untuk
kemudian ia memutuskan kembali ke Makkah pada tahun 1850. Sesampainya di Makkah
Nawawi kembali menghabiskan waktunya untuk belajar, mengajar dan menulis buku.
Ratusan santri yang datang dari berbagai Negara belajar kepada Syeikh Nawawi,
diantaranya dari Indonesia
seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Raden Asnawi Caringin, KH. Kholil Bangkalan,
KH. Asnawi Kudus, Syeikh Muhammad Zainuddin bin badawi As- Sumbawi, Syekh
Abdussattar bin Abdul Wahhab as-Sidqi Al-Makky dan lain-lain. Syekh Nawawi wafat
di Makkah pada tahun 1897 dalam usia 84 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar