KH. SYANWANI BIN ABDUL AZIZ
(BUYA SAMPANG)
Oleh:
Imaduddin
Utsman
Nama lengkap beliau adalah Muhammad
Syanwani bin Abdul Aziz. Beliau lahir dari keluarga kiayi. Ayahnya, KH. Abdul
aziz adalah ulama yang kharismatik yang berasal dari Ragas sebuah kampung di
kecamatan Carenang Kabupaten serang. Kemudian ayahnya berhijrah di Kampung
Sampang Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa. Waktu itu Kampung Sampang masih
begitu awam tentang masalah agama. Sang ayah kemudian mendirikan Pesantren di
Sampang. Berbagai macam tantangan datang bertubi-tubi dari masyarakat yang
sudah terbiasa hidup tak mengenal agama.
Mamat, nama panggilan KH. Syanwani
waktu kecil, berkelana bersama saudara-saudaranya menuntut ilmu keberbagai
pesantren. Pesantren-pesantren yang ia pernah berguru kepadanya di antaranya
pesantren Cengkudu yang diasuh oleh kiayi besar KH. Muhammad Sidik. Kemudian Pesantren Gentur di
Purwakarta dan lain-lain.
Setelah mumpuni dalam bidang ilmu
pesantren ia pulang ke Sampang untuk membantu ayahnya mengasuh pesantren.
Ketika beliau pulang di daerah Banten utara sedang digegerkan dengan munculnya
fenomena Ki Umar Rancalang. Ki Umar di kabarkan sebagai waliyullah yang dapat
mengetahui hal-hal gaib dan mempunyai berbagai macam karomah yang luar biasa.
Mamat, sebagi pemuda yang berilmu pesantren yang mumpuni tidak begitu saja
mempercayai Ki Umar sebagai waliyullah. Apalagi dikabarkan Ki Umar mempunyai
kelakuan yang tidak biasa dilakukan para kiayi. Atau bisa dikatakan Ki Umar
bertingkah layaknya orang gila.
Dihikayatkan, kemudian Mamat pergi
menemui Ki Umar di Rencalang dekat Tanara dengan maksud untuk menguji keilmuan
Ki Umar dan ingin membuktikan apakah benar yang dikatakan orang bahwa Ki Umar
adalah waliyullah. Sesampainya di pintu rumah Ki Umar, Mamat di kejutkan oleh
suara dari dalam rumah: “Kamu datang mau menjajal ilmu, anak muda. Sesungguhnya
ilmu itu bukanlah dari apa yang dipelajari tapi apa yang diamalkan.” Atau
dengan kalimat dalam bahasa jawa yang maknanya hampir serupa itu.
Setelah membuktikan keluarbiasaan Ki
Umar akhirnya Mamat berkeinginan untuk berguru kepada Ki Umar. Akhirnya Mamat
berguru ilmu al ahwal atau ilmu tasawuf kepada Ki Umar sekitar empat
tahun. Dalam sejarah belajarnya Mamat di Ki Umar bukan seperti menuntut ilmu
dipesantren dengan mengaji kitab kuning. Tapi Mamat mendapatkan bimbingan batin
untuk mencapai derajat kesufian yang paripurna. Setiap hari Mamat diharuskan
berpuasa selama ia berguru kepada Ki Umar. Dan ia berbuka dengan apa yang ada
diwaktu adzan. Kadangkala mamat hanya berbuka dengan air yang mengalir di dalam
selokan.
Setelah jiwa mamat dirasa cukup siap
untuk terjun ke masyarakat, Ki Umar memerintahkan Mamat untuk kembali ke
Sampang. Akhirnya kemudian mamat membantu ayahnya mengajar di Pesantren.
Setelah mamat pulang, Pesantren Ashhabul Maimanah maju pesat. Santri dari
berbagai daerah datang. Dari Serang, Tangerang, pandeglang, Jakarta ,
Lampung, palembang , Demak, bogor dan lain-lain.
KH. Sanwani, atau masyarakat sekitar
menyebutnya Yai mamat, mengarang berbagai kitab dalam berbagai disiplin
keilmuan. Sepengetahuan penulis, kitab-kitab yang beliau karang kebanyakan
berupa nadzam dalam bahasa jawa seperti kitab nadzam alfiyah jawa yang dikenal dengan kitab kalam nuhat, yaitu terjemahan yang dinadzamkan dari saripati kitab
alfiyah Ibnu malik. Kemudian kitab Babe
Nenem, yaitu kitab nadzam dalam bahasa Jawa yang menerangkan tentang ilmu
shorof. Juga kitab nadzam amil Satus,
yaitu nadzam tentang ilmu nahwu. Beliau juga mengarang nadzam tentang ilmu
fiqih dan tauhid.
Selain kitab nadzam, ada beberapa
tulisannya tentang ilmu tarkib amil dan jurmiyah yang berupa natsar. Juga kitab
dalam ilmu nahwu dan shorof yang berupa Tanya jawab. Kebanyakan kitab-kitab
karangannya tak diberi nama khusus, sehingga banyak karangannya dinamai sesuai
baris pertamanya saja, seperti kitab babe nenem, amil satus, kalam nuhat,
kalimah ana pira dsb.
Beliau dikenal sangat gigih membela
faham ahlussunah wal jamaah manhaj Nahdlatul Ulama. Tahun tujuhpuluhan dan
delapanpuluhan adalah tahun-tahun yang sangat mencekam di Tirtayasa karena ada
dua arus besar pemikiran islam yaitu NU dan Muhammadiyah. KH. Sanwani adalah
panglima perang paling depan dalam melawan faham Muhammadiyah waktu itu yang
menyerang kebiasaan keagamaan masyarakat seperti tahlil, ziarah dsb. Yang
dianggap oleh orang muhammadiyah sebagai sesat dan bid’ah.
Beliau juga aktif diorganisasi
Ittihadul Muballighin sebagai ketua kabupaten serang. Sebuah organisasi di
bawah Nahdlatul Ulama.
Berbagai manaqib atau kisah hidup
yang penuh karomah dan keluarbiasaan terjadi dalam hidup dan sesudah wafatnya
KH. Syanwani. Kisah tentang anak seorang gurunya yang diambil menantu oleh
seorang kiayi karena dianggap mampu dalam mengasuh pesantren. Dan kebetulan
walaupun anak kiayi ternyata dia tak mampu membaca kitab kuning. Lalu sang
mertua memaksanya untuk mengajar para santri. Lalu anak guru ini berziarah ke
makam ayahnya. Dalam ziarah ini ia mendapatkan impian atau semacamnya untuk
mendatangi muridnya yang bernama Sanwani. Dikatakan oleh ayahnya bahwa Sanwani,
insya Allah akan dapat menyelesaikan masalahmu. Sang anak kemudian mendatangi
KH. Syanwani dan menceritakan seluruh kisahnya. Kemudian KH. Sanwani
menyuruhnya membeli beberapa kitab. Setelah kitab tersebut ada, kemudian KH.
Sanwani menyuruh anak gurunya ini membaca pembukaan dan akhir dari seluruh
kitab-kitab itu. Dan subhanallah, setelah seluruh kitab itu dibaca pembukaan
dan akhirnya, anak sang guru ini dalam waktu sehari mampu membaca kitab kuning
apa saja.
Setelah beliau wafat, seorang
temannya datang ke Sampang, dia bercerita: saya begitu kaget mendengar KH.
Sanwani sudah wafat. Karena kemarin beliau datang kerumah saya katanya dalam
perjalanan ke suatu tempat. Beliau hanya ingin bersilaturrahmi sebentar, beliau
juga sempat melaksanakan solat dhuha di rumah saya. Kemudian saya bertemu
dengan teman dan saya ceritakan kedatangan KH. Sanwani ke rumah saya, dan saya
mendapat kabar darinya bahwa sudah lama KH sanwani wafat.
Beberapa orang yang beribadah haji
ke makkah juga menceritakan pertemuannya dengan KH. Sanwani setelah wafatnya.
Wallahu a’lam bi al shawwab.
Beliau meninggalkan wiratsah yang
tak terputus, murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama dan mempunyai pondok
pesantren. Di antara mereka adalah: KH. Tabrani pengasuh pesantren cikobak, KH.
Markawi pengasuh pesantren Sidayu, KH. Suhaimi pengasuh pesantren Bolang, KH.
Sahri pengasuh pesantren Sindang Asih, KH. Muslih pengasuh pesantren rencalang,
KH Raswani Kepaksan, Kiayi Fudoli Ketapang, KH. Sudrajat Ardani Pengasuh
pesantren Al-ardaniyah Serang, dan penulis sendiri yang mengasuh pesantren
Nahdlatul Ulum Cempaka di Kresek Tangerang.
alhamdulillah syukron tas informasinya,mdh2n membuat motivasi tuk semakin cinta pada para amin
BalasHapus