JAWARA
BANTEN
DAN
Oleh:
Pendahuluan
Runtuhnya rezim Suharto tahun 98
membawa angin segar bagi upaya membangun Negara Indonesia yang demokratis. Negara-bangsa
yang menghormati hak-hak warga negara, baik hak-hak sipil (civil
citizenship), hak-hak politik (political citizenship)
maupun hak-hak sosial dan ekonomi (social & economic citizenship).
Namun lazimnya negara yang berada pada masa transisi demokrasi, proses
demokratisasi di Indonesia
masih menyisakan masalah-masalah. Transisi demokrasi di mana-mana menghasilkan
proses formasi baru kelembagaan politik yang berpusar pada usaha sistematis
yang bersifat terbuka untuk mengatur kembali hubungan antara lembaga negara,
masyarakat (civil socity), Negara (state) dan elit.[1]
Tak jarang proses formasi baru ini bermuara kepada terjadinya benturan
sosiologis-psikologis akibat telah terpatri dan mengkristalnya nilai-nilai yang
tidak demokratis yang diwariskan rezim Orba selama 32 tahun. Belum lagi euvoria
demokrasi yang berlebihan yang telah lama membuncah akibat tekanan rezim yang otoriter.
Masalah juga terjadi ketika
identitas-identitas kultur lokal dan idelogis-religious yang selama ini
tenggelam (baca: berusaha untuk ditenggelamkan rezim), kecuali, mungkin, identitas
kejawen, berusaha untuk muncul kepermukaan dan mewarnai proses demokratisasi
yang berjalan. Kearifan lokal sebenarnya bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi
demokrasi, karena selain demokrasi memiliki nilai-nilai yang universal seperti
kesamaan di depan hukum, hak menentukan diri sendiri, hak menyatakan pendapat
dan lain-lain, demokrasi juga mengakomodir idiom-idiom dan ekspresi-ekspresi
lokal yang membuat nilai-nilai besar dan umum itu dapat difahami dan dihayati
secara konkret dalam suatu konteks yang khusus. Inilah yang kita fahami sebagai
konsepsi demokrasi kontekstual (Contextual democracy). Masalah
akan muncul ketika atas nama demokrasi identitas-identitas ini menggunakan
praktik-praktik yang tidak demokratis untuk mencapai tujuan.
Salah satu identitas lokal yang
muncul pada masa reformasi adalah kelompok kaum jawara (Sunda. Jawa, juwara
atau jwara) yang merupakan sub-kultur dari masyarakat Banten. Berbagai
organisasi yang menghimpun kaum jawara muncul pasca lengsengnya Suharto, baik
yang berkedudukan di wilayah Banten unsich, maupun yang merambah daerah lain di
Indonesia.
Tulisan ini tidak akan spesifik
membahas organisasi kaum jawara dan eksistensinya saat ini, tapi lebih akan
membahas bagaimana sub-kultur jawara bisa muncul di Banten dan bagaimana jawara di tempatkan sebagai individu yang karena
sifat-sifatnya diakui oleh masyarakat sebagai jawara. Bukan karena dia berada
di organisasi jawara kemudian langsung menyebut dia sebagai jawara. Kemudian
dari pengakuan karena sifat-sifat ini ditakar dengan nilai-nilai demokrasi yang
universal.
Sejarah Jawara
Sebagai Sub-kultur Masyarakat Banten
Pakar sejarah, Djajadiningrat, menyatakan
bahwa Belanda pertama kali datang ke nusantara melalui pelabuhan Banten pada
tanggal 23 Juni 1596. Dengan dipimpin oleh Cornelis de Houtman, empat buah
kapal berlabuh di pelabuhan Banten dengan tugas utamanya mencari rempah-rempah
dan membawa komoditas perdagangan itu ke negerinya.[2]
Namun pada perkembangannya keberadaan Belanda di Banten tidak hanya untuk membeli rempah-rempah,
mereka juga mengganggu jalur perdagangan laut antara Banten dan daerah lain.
Pada suatu malam orang-orang Belanda merompak kapal dagang dari Mataram
sehingga membuat Mangkubumi Jayanegara (Perdana menteri) marah dan menangkap
pimpinan mereka Cornelis de Houtman. Setelah di penjara selama hampir sebulan
akhirnya Cornelis dilepaskan dengan tebusan 45.000 Golden kemudian diusir dari
Banten pada tanggal 02 Oktober 1596.[3]
Rombongan Belanda kedua datang pada tanggal 28 Nopember 1598 di bawah
pimpinan Jacob van Neck, tidak untuk mengulangi nasib yang sama seperti
Cornelis de Houtman, Jacob datang dengan santun dan bermartabat sebagai seorang
pedagang. Bahkan ia datang sowan ke Sultan dengan membawa bermacam-macam
hadiyah[4].
Lambat laun watak penjajah orang-orang Belanda muncul. Dengan kekuatan yang
semakin besar pasukan Belanda pelan-pelan berusaha untuk menguasai dan
memonopoli perdagangan di Banten dengan berkedudukan di Batavia . Maka muncullah
pertentangan-pertentangan yang kemudian menjadi peperangan-peperangan.
Ketegangan dan peperangan antara kesultanan Banten dan Belanda terjadi sampai
keruntuhan kesultanan Banten pada awal abad 20.
Setelah kesultanan Banten runtuh, perlawanan terhadap Belanda tidak
berhenti, dilanjutkan oleh para kiayi dan pengikutnya. Memang otoritas
kepemimpinan masyarakat Banten semenjak awal berdirinya kesultanan tidak lepas
dari kepemimpinan ulama. Sultan pada kesultanan Banten selain sebagai pimpinan
negara dan pemerintahan ia juga sekaligus sebagai ulama. Bahkan sultan pertama dan
kedua Banten tidak menggunakan gelar sultan tapi menggunakan istilah maulana,
sebuah istilah keagamaan untuk seseorang yang memiliki ilmu makrifat yang
dikenal dalam tradisi tasawwuf. Gelar sultan dipakai hanya untuk menghormati
pemberian gelar yang diberikan pemimpin Negara Arab. Penghormatan rakyat
terhadap sultannya tidak lebih sebagaimana layaknya penghormatan terhadap
ulama. Jadi jangan dibayangkan dulu rakyat Banten datang menghadap sultannya dengan berjalan
lutut di pendopo atau bersujud memohon ampunan baginda, sama sekali hal itu
tidak terjadi. Egaliter adalah salah satu ciri masyarakat Banten. Semakin
tinggi religiousitas seorang sultan, semakin tinggi pula kharisma dan kecintaan
dan kesetiaan yang ditunjukan rakyatnya.
Tidak heran jika sejarah mencatat, ketika seorang sultan berada di luar
batas-batas norma agama atau etika budaya masyarakat, rakyat bergerak untuk
melengserkan sultan. Hal ini pernah terjadi ketika pada tahun 1750 Kiayi Tapa
dan Tubagus Buang menggerakan rakyat untuk melengserkan Sultan Syarif yang baru
diangkat sebagai sultan dengan dukungan penuh VOC Belanda. Yang pada akhirnya
pemberontakan itu memaksa Sultan Syarif yang dianggap rakyat sebagai antek
penjajah kafir turun tahta.[5]
Milisi sipil yang digerakan ulama terus bermunculan ketika Belanda telah
benar-benar menjajah Banten pasca runtuhnya kesultanan tahun 1808. Dengan
semangat jihad, semangat anti kafir bahkan kadang semangat nativisme dan
revivalisme rakyat Banten mengadakan perlawanan melawan penjajah Belanda.[6]
Darah panas rakyat Banten yang selama ini terpendam oleh keindahan Islam-sufi
membuncah dan tersalurkan dengan berperang membela negeri dan agama. Mereka
yang mengikuti seruan ulama dan berdiri di garis depan dalam perlawanan melawan
penjajah inilah cikal-bakal munculnya sub-kultur baru dalam masyarakat Banten
yang kemudian dikenal dengan sub-kultur jawara.
Tercatat dalam sejarah bagaimana gigihnya jawara-jawara Banten dalam
melawan Belanda. Pada tahun 1809 terjadi perlawanan "Bajaklaut" yang
dipimpin para jawara dalam menentang pembangunan pangkalan militer penjajah di
Ujung Kulon. Kang Nuriman, Kiayi-jawara dari Pasir Peuteuy Pandeglang,
mengadakan pemberontakan untuk memaksa Belanda mengangkat kembali seorang sultan. Pada tahun
1811, Mas Jakaria, jawara Banten dari selatan, Melakukan perlawanan terhadap
Belanda dan berhasil menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Namun, beberapa bulan
kemudian ia berhasil ditangkap Belanda kemudian dijatuhi hukuman mati dengan
dipenggal kepalanya dan dibakar.[7]
Setelah terbunuhnya Jawara Banten dari selatan, hampir setiap tahun
terjadi kerusuhan di Banten yang dipimpin para kiayi dan jawara. Misalnya
perlawanan yang dipimpin oleh Ki Adam, Ki yamin, Ki Utu, Ki Ikrom. Pada tahun
1815 pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Kang Nuriman mengepung Pandeglang.
Pada tahun 1818 dan awal tahun 1819, Haji Tasin, Mas Haji, dan Mas Raka
memimpin perlawanan di Lebak dan membunuh orang-orang pribumi yang menjadi
antek dan pegawai pamongpraja Belanda. Selanjutnya pada tahun 1820, 1822, 1825
dan 1827 muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung
Muhammad dari Menes, Mas Arya dan para ulama. Khusus pada tahun 1836 terjadi
perlawanan yang dipimpin seorang perempuan bernama Nyimas Gamparan di Balaraja
yang kemudian dapat dipatahkan oleh demang R. Kartanagara yang kemudian atas
jasanya menangkap Nyimas Gamparan ia diangkat oleh Belanda menjadi bupati
Lebak.[8]
Mas Jabeng, putra jawara Banten dari selatan, Mas Jakariya, pada tahun
1839 mengadakan perlawanan bersama Ratubagus Ali dan Pangeran Qadli, namun
dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan Bupati Serang waktu itu.
Di Serang terjadi pemberontakan yang dipimpin kiayi Kharismatik yang
bernama Ki Wakhiya, selama enam tahun bersama pendamping setianya yaitu Tubagus
Ishak, Mas Diad, Mas Berik dan Nasyid mengobarkan semangat perang sabil melawan
pemerintah kolonial. Namun akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada tahun
1856. Pada tanggal 13 Desember tahun 1845 terjadi penyerbuan para petani di
Cikande terhadap para tuan tanah yang digerakan oleh keturunan jawara Banten
dari selatan, Mas Jakariya. Akibat serbuan itu seorang tuan tanah PJ. Kampuys
beserta isteri dan kelima anaknya terbunuh, ikut juga beberapa orang eropa yang
terbunuh seperti Pes Viering beserta isteri dan empat anaknya, dan Wanbert de
Puiseau. Akhirnya dengan tambahan pasukan dari Batavia, pemberontakan ini dapat
di hancurkan, sebanyak 384 orang ditangkap, sedangkan yang lainnya dapat
meloloskan diri ke daerah sekitar.[9] Di
antara yang berhasil meloloskan diri tersebutlah nama Ki Buyut Pasar, seorang
jawara sakti yang berambut panjang yang melarikan diri ke kresek kemudian
menetap dan berketurunan di kampung Talok. Kuburannya sekarang sering diziarahi
orang.
Di Ciomas, Arpan dan gerombolannya membunuh camat Ciomas pada tanggal 22
februari 1886. Idris dan pasukannya membunuh 40 pegawai Belanda pada tanggal 20
Mei 1886.[10]
Peristiwa ini disesalkan sejarah karena yang menjadi korban mayoritas adalah
warga pribumi.
Pada tahun 1888 terjadi peristiwa "Geger Cilegon". Yaitu
sebuah pemberontakan yang dipimpin kiayi-kiayi tarekat dari Banten pesisir
utara. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Syeikh Abdul
Karim dari Tanara, seorang penyebar tarikat Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang
juga sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, diikuti oleh murid-muridnya seperti Ki
Syadeli dari Kaloran Serang, Ki Asnawi dari Lampuyang Tirtayasa, Ki Abubakar
dari Pontang, Ki Tb. Ismail dari Gulacir, Ki Wasid dari Beji dan Ki Marzuki dari Tanara. Sebagai panglima
oprasi ditunjuklah Ki Wasid dan Tb. Ismail. Pemberontakan ini berhasil membunuh
orang-orang Belanda di cilegon termasuk
asisten residen Gubbels.[11]
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa pemberontakan masyarakat Banten
yang digerakan oleh para ulama dan jawara, seperti pemberontakan yang terjadi
pada tanggal 13 Nopember 1926 yang dipimpin Kiayi Agung Asnawi dan menantunya
KH. Tb. Ahmad Khatib yang kelak menjadi residen Banten pasca kemerdekaan.[12]
Melihat alur perjalanan masyarakat Banten yang diterpa berbagai macam
pergolakan, maka sangatlah logis bila kultur masyarakat Banten untuk kemudian
waktu masih dipengaruhi semangat itu. Namun relative minimnya tekanan pasca
kemerdekaan membuat semangat itu tidak tersalurkan. Tercatat pasca kemerdekaan
hanya satu kali terjadi pemberontakan, yaitu yang digerakan oleh Ce Mamat pada
bulan Oktober 1945 yang menuntut residen Banten KH. Ahmad Khotib untuk
memberhentikan para priyayi yang dulu bekerja untuk Belanda dan jepang.[13]
Makna
Jawara dalam Dilema
Dalam tata bahasa Jawa di Banten
dikenal istilah "bergajul" yaitu ungkapan untuk orang yang melakukan
hal-hal yang merugikan masyarakat. Para
perampok, maling, orang yang suka meresahkan, sok jagoan dan pengangguran yang
berkeliaran mereka ini di sebut orang-orang bergajul. Namun belakangan
oran-orang yang memiliki sifat-sifat seperti di atas kadang-kadang juga disebut
jawara.
Penulis pada suatu kesempatan
bertemu dalam sebuah acara di Petir dengan Tb. Triayana Syam'un, mantan Ketua
Umum Pengurus Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten, ia mengungkapkan
bahwa yang dinamakan jawara sekarang
adalah sosok seperti Buya Dimyati Cadasari dan Abah Bustomi Cisantri. Penulis
tidak mengetahui criteria apa yang menjadi takaran Triayana sehingga menyebut
dua sosok kiayi paling kharismatik di Banten itu sebagai Jawara. Yang jelas di
tempat penulis (Kresek) kadang-kadang ada mantan perampok yang juga disebut
jawara. Guru pencak silat Paku Banten juga disebut jawara. Seorang pedagang di
pasar sabtu di Kresek yang menolak relokasi kemudian ia disebut pedagang
jawara. Seorang yang yang dirampok kemudian dapat melumpuhkan perampok disebut
jawara, sementara perampoknya juga dikenal sebagai jawara. Bila ungkapan atau
penamaan jawara sampai kepada orang yang diletakan nama jawara itu kepadanya,
semuanya menerima dan tidak keberatan disebut sebagai jawara.
Maka makna jawara berada dalam
dilemma. Siapakah sesungguhnya jawara itu?
Untuk mendapat jawaban itu
memerlukan kajian teoritis-historis yang komprehensip. Tulisan singkat ini
tidak mungkin dapat menjadi referensi memuaskan untuk kajian itu. Namun dilihat
dari kenyataan diterimanaya istilah dan penyebutan jawara bila diberikan kepada
individu dari berbagai posisi social di Banten, penulis bisa memberikan jalan
pada pembaca untuk mengenal sifat dan criteria jawara yang diidamkan oleh yang
mengemban nama itu, dengan menarik sifat-sifat yang khas dan positif dari
berbagai posisi social yang disebutkan di atas.
Pertama, sifat-sifat jawara
yang diambil dari sifat-sifat ideal dan positif kiayi, seperti rajin ibadah, tawaddu',
keikhlasan, kesabaran, kebijaksanaan, keilmuan, qona'ah (menerima nikmat dengan
bersyukur), membimbing, dsb.
Kedua, sifat-sifat jawara
yang diambil dari sifat ideal guru silat seperti kedigjayaan, penguasaan
terhadap kanuragan dan mau mengajarkan kemampuan terhadap orang lain.
Ketiga, sifat-sifat jawara
yang diambil dari sifat-sifat ideal pejuang pergerakan (termasuk orang-orang
yang berani melawan arus demi membela kepentingan haknya dan orang lain)
seperti keberanian, rela berkorban, membela tanah air dan agama, tabah
menghadapi konsekwensi dari sebuah perjuangan.
Keempat, sifat-sifat jawara
yang diambil dari bergajul, perampok dsb. seperti ketegasan sikap, keberanian
bergerak, telenges (berani mengambil sikap kasar jika diperlukan), setia
kawan dsb.
Dari sifat-sifat ideal itu kita
dapat mengurutkan tingkatan jawara berdasarkan kelengkapan seorang jawara akan
sifat-sifat tersebut, sebagai berikut:
- Jawara Brahmana, yaitu jawara utama yang memiliki ilmu para ulama keberanian para ksatria, kedigdayaan para guru silat, yang rela berkorban demi kepentingan rakyat, Negara, dan agama. Ia akan berada di baris depan dalam membela kepentingan rakyat untuk mendapatkan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan. Untuk terwujudnya hal itu ia berani bersikap telenges terhadap orang-orang yang membuat rakyat menderita.
- Jawara Ksatria, yaitu jawara yang memiliki semua sifat-sifat jawara brahma kecuali keilmuan ulama.
- Jawara Syudra, yaitu jawara yang memiliki keberanian bergajul, ilmu silat para guru silat, tapi hanya mencari keuntungan pribadi tanpa mau peduli dengan kepentingan rakyat, negara dan agama.
- Jawara Cidra, yaitu jawara yang hanya punya keberanian mengancam, tidak memiliki ilmu silat, sok jagoan dan meresahkan masyarakat.
Jawara Dalam Konteks Demokrasi kontekstual di Banten
Dalam sub-judul ini istilah jawara yang dimaksud adalah jawara yang
tergolong dalam kategori jawara brahmana dan jawara ksatria, karena agaknya dua
golongan jawara inilah yang dimaksud dalam suasana kebatinan masyarakat Banten
dalam memahami istilah jawara. Dalam konteks demokrasi kontekstual terdapat
nilai-nilai universal yang akan penulis coba takar dengan sifat perjuangan dari
kedua jenis jawara ini untuk kemudian diurut benang merah keduanya untuk
mendapatkan sebuah persamaan sikap dalam konteks pemahaman peran masyarakat
dalam demokrasi.
Demokrasi kontekstual adalah pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah
nilai yang bersifat universal. Walaupun demikian, terdapat kesempatan untuk
melakukan kontekstualisasi demokrasi melalui penyertaan cirri-ciri lokal,
bahkan partikular, untuk pengembangan demokrasi. Persyaratan pengintegrasian
nilai-nilai particular dan lokal diletakan pada kepercayaan bahwa yang disebut terakhir ini tidak
mengurangi esensi nilai universal demokrasi. Dengan kata lain, pengintegrasian
nilai particular dan lokal harus memperkuat nilai universal dari demokrasi.[14]
Jawara sebagai sub-kultur masyarakat Banten yang menjadi penggerak dari
berbagai macam perubahan social sejak dulu mempunyai nilai strategis-historis
untuk membawa masyarakat Banten lebih demokratis.
Watak egaliter yang dimiliki masyarakat Banten bergaris lurus dengan
nilai universal demokrasi yakni persamaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
sub-judul sebelumnya bahwa walaupun Banten pernah mengalami masa jaya sebuah
kekuasaan monarki, namun hubungan antara sultan sebagai penguasa dan rakyat
yang dikuasai tergambar tidak seperti yang terjadi di pemerintahan monarki yang
lain. Rakyat Banten memandang sultan sebagai lambang dari kedaulatan yang
mereka miliki, dan mewakili mereka dalam menjalankan pekerjaan politik. Bila
penyelenggara ini tidak senada dengan keinginan luhur mereka maka tak segan
mereka menyatakan pendapat bahkan memberontak.
Perjuangan para jawara dalam membebaskan rakyat dari penjajahan dan
penindasan bergaris lurus dengan nilai-nilai universal demokrasi yakni kemerdekaan
warga dan keadilan.
Sementara perlawanan para petani
yang digerakan oleh para jawara di tanah partikelir Cikande Udik adalah
sebuah tuntutan kesejahteraan masyarakat yang nilai ini juga diperjuangkan oleh
demokrasi.
Substansi demokrasi nampaknya telah tersedia dan berjalan dalam
kehidupan social masyarakat Banten. Namun prosedur demokrasi masih memiliki
masalah tentang apakah prosedur itu telah betul-betul menjamin bahwa demokrasi
itu dari rakyat oleh rakyat atau belum. Dan apakah para pemimpin itu telah
memiliki syarat pemimpin yang demokratis, yaitu kompetensi dan integritas
selain konstituensi.Wallahu a'lam
[أ] Makalah Untuk Diskusi Publik yang
diselenggaraka oleh Sekolah Demokrasi Indonesia Kabupaten Tangerang, di Gedung
Korpri Kota Tangerang, Sabtu, 23 Mei 2009
[1] Danil Sparringa, Respon
elit politik Terhadap Transisi Demokrasi, dalam, Konsepsi
Demokrasi, seri simpul demokrasi, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
(KID)(Jakarta: KID, 2009). h 46
[2] Djajadiningrat, Critische
Beschowing Van de Sadjarah Banten (Leiden: Jhon Enschede en Zenen,
1937) h. 171
[3] Halwani Michraob dan
Mujahid Hudari, Catatan Masalalu Banten, (Serang: Saudara, 1993).
h. 96
[4] Djajadiningrat, Op.cit,
h.169
[5]
Ekadjati, Kesultanan Banten Dan hubungannya dengan Wilayah Luar,
dalam Banten kota
Pelabuhan Jalan Sutra (Jakarta: Depdikbud, 1990) h. 88
[7] Halwani
Michrab & Mujahid Hudari, Opcit, h.186
[8] Nina Lubis, Op.cit,
h.102
[9] Nina Lubis, Op.cit,
h. 104
[10] Kartodirjo, Sejarah
Perkebunan di Indonesia (Yogyakarta:
Aditya media, 1991)h.26
[11] Nina Lubis, Op.cit,
h.112
[12] Nina Lubis, Op.cit,
h. 142
[14] Danil Sparrina, Op.cit,
h.47