SEJARAH WALIYULLAH
SYEKH
ASTARI CAKUNG
Penulis
H.
IMADUDDIN UTSMAN, SA.g. MA.
Hudan
linnas press
2011
Judul: Sejarah Waliyullah syekh astari cakung
Perumus dan Penanggung jawab isi: KH. Maujud bin
Astari
Penulis: H. Imaduddin utsman, S.Ag. MA
Penyunting: H. soleh
M. Doni Andeske
Jaja
Palis
Mahfudz
junaidi
H.
Ali ridlo
Omang
paridan
Rasyidi
Tapa
Muhyiddin
Khaeruddin
Mushahir
Samudin
SP
Komisaris: H. Zuhdi abdurrouf
Penerbit: Hudan linnas Press
Cetakan: pertama 2011
HUDAN LINNAS PRESS
JL RAYA KRESEK, CEPLAK SUKAMULYA
2011
Kata Pengantar
Sejak Islam masuk ke daerah Banten,
Cakung adalah suatu daerah yang sangat kental dengan tradisi kesantrian. Bahkan
diperkirakan Cakung telah mengenal Islam sebelum Maulana hasanuddin menyebarkan
Islam di Banten.
Di Cakung terdapat para ulama-ulama yang mumpuni
dalam berbagai disiplin keilmuan seperti Ki Syarif atau yang lebih dikenal
dengan nama Ki Ayip cakung, Ki Maderan, Ki jahari, Ki Muhammad Ali dll.
Syekh nawawi Tanara Al Bantani,
dititipkan ayahnya yaitu Ki Umar bin arobi sebelum mesantren di Makkah al
mukarromah kepada Ki syarif cakung.
Pada awal abad duapuluh hiduplah
seorang ulama besar yang masyhur dengan derajat kewalian yang bernama Syekh astari
bin Maulana Ishaq. Beliau pada mulanya mengasuh sebuah pesantren di Cakung,
kemudian setelah kemerdekaan beliau dipilih tuhan untuk Fana fillah (lebur
bersama Tuhan).
Buku ini hanya menyajikan sebagian
kecil dari sejarah kehidupannya yang pebuh hikmah dan keindahan. Mudah-mudahan
di suatu saat akan bermunculan lagi buku-buku sejenis yang akan menyajikan
kisah hidupnya secara utuh.
Akhirnya penulis memohon tegur sapa
dari para pembaca untuk kesempurnaan cetakan berikutnya.
Ponpes Nahdlatul Ulum cempaka Kresek, Dzul qo’dah 1432 H
Penulis
H. Imaduddin utsman, S. Ag. MA.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………….
Nama,
silsilah keluarga dan Kelahiran…………………………………………………
Orang
tua Syekh Astari…………………………………………………………………
Pengembaraan
ilmiyah syekh astari………………………………………………….
Santri
Sanga di satu Pesantren………………………………………………………
Bertapa
di Goa umbul………………………………………………………………..
Kisah
Pertapaan Syekh Nawawi Mandaya……………………………………….
Syekh
Nawawi bikin pesantren…………………………………………………….
Syekh
astari dan Syekh Mustaya…………………………………………………
Sembilan
Sahabat berpisah………………………………………………………
Kehausan
ilmu
Semangat
syekh astari untuk kemerdekaan Indonesia……….
Lebur
Bersama Tuhan……………………………………………………………
Keluarga
syekh astari………………………………………………………………….
Riwayat-riwayat tentang syekh astari………………………………………………….
Uang
Baru syekh astari………………………………………………………………
Wafatnya
syekh Astari………………………………………………………………..
NAMA,
SILSILAH KELUARGA DAN KELAHIRAN
Beliau bernama lengkap Syekh Astari
bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin bin Nyi Ratu Antimah binti Ki Alim bin
Ki Abdullah bin Syekh Ibrohim bin Syekh Hasan Bashri bin Raden Mahmud bin Pangeran Saleh Arya Banten bin
Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin
(Kanjeng Ratu Banten surosowan) bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.
Syekh Astari juga merupakan cucu
dari Syekh Ciliwulung melalui ibu dari Syekh Hasan Bashri yaitu Nyi Fatimah binti syekh ciliwulung.
Syekh Astari dilahirkan di kampung
Cakung Kedung, sekarang kampung kedung masuk wilayah kecamatan Gunung Kaler.
Tepatnya Kampung Cakung Kedung Ds. Kandawati Kecamatan Gunung kaler (Pemekaran
Kecamatan kresek) Kabupaten Tangerang-Banten. Tidak ada yang mengetahui tahun
berapa tepatnya Syekh Astari di lahirkan. Tetapi ketika kita menghitung umur
syekh Astari yang ketika wafat pada tahun 1987 berusia 99 tahun, maka kita bisa
mengurut angka tahun 1888 sebagai tahun kelahiran beliau berarti beliau
dilahirkan kira-kira lima tahun setelah meletusnya gunung Krakatau pada tahun
1883. Dan berbarengan dengan terjadinya perang geger cilegon yang melibatkan
para petani dan ulama Banten utara melawan pemerintahan colonial Belanda. Juga
berarti beliau dilahirkan ketika Syekh Nawawi al-Bantani masih hidup di Makkah
Al mukarromah. Syekh Nawawi al bantani wafat Sembilan tahun setelah angka kelahiran Syekh Astari
Cakung, tepatnya pada tahun 1897.
ORANG
TUA SYEKH ASTARI
Syekh Astari berasal dari keluarga
yang sangat kuat memegang tradisi kesantrian. Ayahnya, Maulana Ishaq, walaupun
seorang pedagang adalah seorang yang taat menjalankan nilai-nilai agama. Di
tengah kesibukannya berdagang, ia juga mengajar ngaji kepada para anak-anak di
kampungnya. Kedermawanan adalah sifatnya yang sangat menonjol. Berdagang,
mungkin, hanya dijadikan sebagai suatu media bagaimana ia dapat berbuat sesuatu
untuk orang lain. Dikisahkan setiap datang dari pasar ia selalu membawa
berbagai oleh-oleh. Dan oleh-oleh yang ia bawa bukan hanya untuk keluarganya di
rumah, tapi juga untuk para tetangga. Iapun rajin mendatangi rumah-rumah
tetangga dan menanyakan apakah para tetangga itu mempunyai beras atau tidak.
Akhlak para sahabat seperti Umar bin
Khatab dan Sayyidina Ali Zainal Abidin bin sayyidina husein ra., seperti di
atas yang dimiliki Maulana Ishaq kemudian diwarisi oleh putranya yaitu Syekh
Astari Cakung yang akan dijelaskan kemudian.
Syekh Astari mempunyai ibu bernama
Nyi Ratu Nasiah. Sama seperti suaminya ia juga berdagang pakaian, ragi dan
boreh. Boreh adalah sejenis bedak yang terbuat dari tepung beras dan
rempah-rempah yang sangat masyhur dipakai oleh para gadis dan ibu-ibu di Banten
untuk mempercantik diri dan Nampak awet muda. Sifat suaminya yang dermawan juga
dimiliki oleh Nyi Ratu nasiah. Ia juga dikenal begitu dermawan.
PENGEMBARAAN
ILMIYAH SYEKH ASTARI CAKUNG
Selain kepada ayahnya maulana Ishaq,
Syekh Astari kecil mula-mula belajar ngaji di kampungnya kepada Ki Muhammad
Zen, seorang ulama yang juga mempunyai garis keturunan kepada Syekh ciliwulung.
Kalau Syekh astari mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung melalui
anak perempuannya yang bernama Nyai Ratu Fatimah,ibu Syekh Hasan Basri, maka Ki Muhammad Zein melalui anak laki-laki
Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Cinding. Memang Syekh Ciliwulung kemudian
mempunyai banyak keturunan yang menjadi para kiayi khususnya di wilayah Kresek,
Binuang dan Gunung Kaler dan umumnya di Banten Utara. Di daerah Tanara,
Tirtayasa dan Carenang banyak para ulama yang juga mempunyai garis keturunan
kepada Syekh Ciliwulung melalui putra Syekh Ciliwulung yang bernama Ki Sauddin.
Kita bisa menyebutkan beberapa
contoh para kiayi yang mempunyai garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung. Ki
Adung seorang kiayi dari laban Tanara adalah seorang kiayi yang memiliki
garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Sauddin. Begitu juga Kiayi
soleh dan kiayi Fathoni Lempuyang. Ki Syafei bin Makiyya dari Kebon Jeruk
memiliki garis keturunan kepada syekh Ciliwulung melalui Ki Cinding. Ki Amran
Bugel juga keturunan Syekh Ciliwulung melalui Nyi Ratu Fatimah. Sedangkan di
Kresek Abuya Amin koper bersambung silsilahnya melalui Nyai Ratu Fatimah. KH.
Mufti bin Asnawi seorang ahli fiqh dari Cakung srewu memiliki garis keturunan
kepada Syekh ciliwulung melalui Nyi Ratu Fatimah.
Syekh Asnawi Caringin melaui ibunya juga keturunan Sekh Ciliwulung dari
Ki Cinding. KH. Makmun bin Muhammad Ali, Ki Busyra dan Ki Salim yang keduanyanya anak Ki Muhammad
zen Cakung guru Syekh Astari memiliki garis silsilah kepada Syekh Ciliwulung
melalui Ki Cinding. Dan masih banyak kiayi yang masih hidup yang memiliki garis
keturunan dengan syekh Ciliwulung.
Garis nasab para ulama Banten Utara
bisa dikatakan didominasi oleh dua garis silsilah yaitu garis silsilah Pangeran
Sunyararas tajul arsy Tanara dan syekh Ciliwulung Cakung. Dari garis Pangeran
Sunyararas tajul arsy, kita bisa menyebutkan beberapa ulama seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Umar Rancalang, SYekh Nawawi Mandaya dan syekh Abdul
Karim yang merupakan khalifah toriqoh Al Qodiriyah wa al Naqsyabandiyah.
Kembali kepada pembahasan masa
belajar Syekh Astari.
Dikisahkan Syekh Astari kecil ketika
mulai mengaji kepada Ki Muhammad zen selalu datang sebelum teman-temannya
datang dan pulang setelah semuanya pulang. Walaupun datang pertama kali, syekh
astari tidak langsung mengaji tapi dia menyimak pengajian teman-temannya satu
persatu. Ia membuka halaman al Qur’annya teman. Inilah yang membuat Syekh
Astari sekali mengaji dapat berpuluh kali lipat pelajaran daripada
teman-temannya dalam semalam.
Suatu ketika Ki Muhammad zen
ketiduran ketika Syekh astari sedang
mengaji karena Syekh Astari mengaji terakhir dan waktu sudah larut. Walaupun
mengetahui gurunya tertidur Syekh Astari tetap terus membaca al Qur’an. Karena
murid hanya boleh berhenti mengaji apabila gurunya memerintahkan berhenti.
Rupanya karena lelah Ki Muhammad zen tidur cukup lama. Walaupun syekh Astari
merasa lelah karena terus membaca al Qur’an ia tetap tak mau berhenti sampai
gurunya bangun dan menyuruhnya berhenti. Ketika Ki Muhammad Zen terbangun
alangkah kagumnya ia kepada Syekh Astari ketika mendapatinya masih terus
mengaji di hadapannya. Ki Muhammad yakin suatu saat nanti Syekh Astari kecil
akan menjadi ulama besar yang akan menjadi tumpuan umat.
Setelah menganjak remaja, syekh
Astari diserahkan orang tuanya untuk mesantren kepada syekh Jaliman di
Bunar-Pematang.
SANTRI
SANGA DI SATU PESANTREN
Ketika mesantren di pesantren Bunar
asuhan Syekh Jaliman, Syekh Astari satu qurun bersama delapan orang sahabat
yang kemudian kesembilan orang ini menjadi para ulama besar. Mereka adalah
Syekh Nawawi mandaya, Syekh umar rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi
Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, syekh Jamhari (kemudian
dijadikan menantu syekh Jaliman), Syekh Mustaya Binuang dan Syekh astari
sendiri. Selain delapan teman itu syekh Astari juga sequrun dengan Ki Kharis
Cisimut.
Syekh Nawawi Mandaya berusia paling
dewasa dibanding dengan delapan sahabat lainnya. Perbedaan umur antara Sekh
Nawawi mandaya dan Syekh astari sekitar tigabelas tahun. Hal ini dapat
disimpulkan karena pada saat ayah Syekh nawawi Mandaya yang bernama Syekh
Muhammad Ali (pengarang kitab Murad Awamil) di buang ke Digul-Papua Barat atau
irian Jaya pada tahun 1888 karena terlibat pemberontakan pada perang Geger
cilegon, syekh Nawawi Mandaya sudah berumur duabelas tahun.
Perang Geger Cilegon walaupun
terjadi di cilegon tetapi lebih banyak melibatkan para ulama di daerah Banten
Utara bagian timur seperti Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Asnawi Bendung, Ki
Marzuki, Syekh Muhammad Ali Mandaya, Ki Arsyad towil (kemudian wafat di manado)
dll. Ketika Syekh Muhammad Ali yang dibuang ke Digul bersama isteri dan anaknya
(Syekh Nawawi mandaya) pulang dari digul dengan perahu layar. Terjadi sesuatu
yang mengharuskan mereka menepi ke timur Kupang. Akhirnya Syekh Muhammad Ali
memutuskan untuk menyebarkan agama di Timur Kupang dan menetap di sana sampai
wafatnya. Sedangkan isteri dan anaknya kembali pulang ke Banten dan menetap di
Mandaya.
BERTAPA
DI GOA UMBUL
Di dekat pesantren yang diasuh syekh
Jaliman di Pematang terdapat sebuah goa yang bernama Goa Umbul. Menurut
kepercayaan masyarakat dahulu ketika sedang berkelana Maulana hasanuddin,
sultan Banten yang pertama, pernah bertafakur di goa tersebut.
Menurut penuturan syekh Jamhari,
dulu waktu sama-sama nyantri dengan Syekh Astari di Pesantren Bunar, ia melihat
Syekh Astari memasuki Goa umbul, ia perhatikan sudah satu hari syekh Astari
tidak keluar goa. Kemudian ia membawa makanan kedalam goa. Ia mendapati syekh
astari sedang duduk dengan khusyu. Ia meninggalkan makanan itu di hadapan syekh
Astari. Lalu keesokannya lagi syekh Jamhari kembali membawa makanan ke dalam
goa. Namun ia mendapati makanan yang kemarin dibawanya masih utuh. Tahulah ia
bahwa syekh astari sedang berpuasa wishal. Lalu ia membawa makanan yang
dibawanya kemarin dan meletakan makanan
yang baru di hadapan Syekh astari. Mungkin saja makanan yang baru ini
akan dimakan. Keesokannya lagi, Syekh jamhari mendatangi kembali Syekh Astari
ke dalam goa umbul. Ia mendapatinya tetap duduk penuh khusyu. Kembali ia
melihat makanan yang dibawanya kemarin masih utuh. Namun ia tetap meletakan
makanan yang baru di hadapan Syekh Astari yang masih khusyu duduk tanpa sepatah
kata.
Syekh jamhari tidak bosan membawa
makanan untuk syekh astari selama satu jum’at. Setelah tujuh hari didapatinya
Syekh Astari tak memakan makanan secuilpun, barulah ia tahu bahwa mungkin Syekh
Astari sudah berniat bertapa di goa umbul ini untuk waktu yang lama. Kemudian
untuk hari-hari selanjutnya ia tak membawa makanan untuk Syekh Astari, ia hanya
sesekali menengoknya untuk memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
Setelah beberapa lama waktu berjalan syekh Astari keluar dari Goa Umbul. Syekh
jamhari yang selalu menghitung hari pertapaan Syekh astari mengatakan bahwa Syekh astari berada dalam Goa Umbul itu
selama empatpuluh hari empatpuluh malam. Sama seperti dulu Sultan Banten yang
pertama Maulana hasanuddin bertapa di sana.
Masih menurut penuturan syekh
jamhari, bahwa pertapaan Syekh Astari di dalam goa Umbul bukan hanya sekali
saja, tapi beberapa kali yang kesemuanya konsisten selama empatpuluh hari
empatpuluh malam.
Syekh Astari seperti dikisahkan di atas,
ketika mesantren di Syekh Jaliman berbarengan dengan delapan santri yang kelak
mereka menjadi para ulama besar. Di antara mereka adalah Syekh Nawawi bin
Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh Nawawi bisa dikatakan paling dewasa. Suatu
ketika Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk membantu mengajar ngaji
kepada para santri karena memang Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat
bimbingan langsung dari ayahandanya yaitu Syekh Muhammad Ali. Bahkan dikisahkan
ketika mesantren di Syekh Jaliman Syekh Nawawi telah hafal kitab-kitab nadzam
dan matan. Ketika pulang dari Digul pada usia duabelas tahun bersama ibunya,
Syekh Nawawi telah hafal kitab Murad awamil karangan ayahnya. Maka tak heran
kalau banyak orang yang mengira bahwa kitab tersebut karangan Syekh Nawawi.
Ketika mendapat perintah gurunya
untuk mengajar para santri Syekh Nawawi bingung, bukan tidak mampu tapi apakah
ia pantas, itu fikirnya. Maka ia kemudian memohon kepada teman-teman
sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan sendiri di dalam kamar. Kebetulan
beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang disebutkan di atas.
Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah
keluar dari kobong dalam waktu yang cukup lama. Kemudian hal itu di laporkan
kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh Jaliman para teman-temannya jangan
mengganggu Nawawi, biarkan saja ia dalam kobong sampai keluar dengan
sendirinya. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Syekh Nawawi keluar dari kobong
setelah genap empat puluh hari ampatpuluh malam. Setelah itu Syekh jaliman
mempersiapkan kenduri atau selametan untuk Syekh Nawawi karena bahagia mempunyai
murid seperti Syekh nawawi dan sebagai takriman wa ta’dziman kepada ayahnya
seorang ulama pejuang yang rela meninggalkan Nagari Banten yang di cintainya
demi tugas dakwah di negeri yang jauh di ujung Barat Nusantara.
Setelah tahannus selama empatpuluh
hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh Nawawi mau membantu mengajar para
adik-adik santrinya.
SYEKH
NAWAWI MANDAYA DIPERINTAHKAN BIKIN PESANTREN
Setelah beberapa tahun Syekh Astari
mesantren di Syekh Jaliman, tibalah saat Syekh Astari untuk meninggalkan
pesantren Bunar. Yaitu saat Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk
pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain memerintahkan Syekh nawawi
pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan
sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya. Walaupun sebenarnya
Syekh astari masih merasa betah tinggal di Bunar mengaji dengan Syekh jaliman,
tetapi karena ini perintah guru, syekh Astari tak pernah bertanya mengapa ia
langsung sam’an watoatan mentaati
perintah gurunya. Dalam dunia pesantren diajarkan ketaatan murid kepada guru
adalah ibarat mayit ditangan gosil (orang
yang memandikan mayit).
Ketaatan murid kepada guru adalah ketaatan dzohir dan
batin. Jiwa raga seorang santri dihadapan kiayinya adalah jiwa raga kepasrahan
yang sempurna. Keberkahan dan futuh dalam dunia pesantren adalah kunci
kemanfaatan. Dan kunci kemanfaatan itu bisa diraih hanyalah dengan kepasrahan
yang sempurna kepada guru. Bahkan bila kiayi memerintahkan muridnya untuk masuk
ke dalam kobaran api yang menyala-nyala maka seorang santri al-shodiq tidak
akan bertanya mengapa ia harus masuk ke dalam api tetapi ia akan langsung
memasuki api itu dan tak akan bertanya mengapa.
Demikianlah jiwa raga
syekh astari telah dipasrahkan seluruhnya tanpa tersisa kepada Syekh
jaliman. Ketika Syekh Jaliman memerintahkan untuk mengikuti Syekh Nawawi ke
mandaya, syekh Astari dan tujuh sahabat lainnya taat.
Akhirnya pengelanaan syekh astari dalam dunia ilmiyah
sampai di Mandaya. Orang yang dulu adalah teman sekobong, kini menjadi guru.
Walaupun ia berguru kepada teman mesantren, tetapi ketaatan dan hormat Syekh
Astari kepada Syekh Nawawi tidak berkurang. Dulu ia memasrahkan jiwa raganya
kepada syekh jaliman, kini ia memasrahkan jiwa raganya kepada Syekh Nawawi
mandaya.
SYEKH
ASTARI DAN SYEKH MUSTAYA BINUANG
Seperti dikisahkan sebelumnya, bahwa
Syekh Astari satu qurun dengan delapan sahabat yang kemudian menjadi ulama
besar. Di antara delapan sahabat itu adalah syekh Mustaya Binuang. Ia adalah
teman Syekh Astari sejak di pesantren Bunar asuhan Syekh jaliman. Kemudian
keduanya menjadi murid dari Syekh Nawawi Mandaya yang juga adalah satu
pesantren ketika di pesantren Bunar.
KH. Maujud bin Syekh Astari
mengkisahkan pertemuannya dengan Syekh Mustaya untuk pertama kalinya. Ketika
itu KH. Maujud masih mesantren di KH. Suhaimi Sasak.
KH. Maujud datang ke Binuang bersama
seorang temannya untuk bersilaturahmi dan memohon do’a. ia melihat Syekh
mustaya sedang duduk dengan mata ke langit-langit rumah. KH. Maujud mengucapkan
salam. Tapi Syekh Mustaya masih diam terpaku dengan mata masih menatap kosong
ke langit-langit. Terpaksa KH. Maujud dan temannya duduk tanpa dipersilahkan
setelah mencium tangan Sang syekh. Lama terjadi keheningan di antara mereka.
Setelah beberapa saat terdiam KH
maujud kikuk melihat Syekh Mustaya tetap terdiam, akhirnya ia mengawali
pembicaraan: “Yai, saya kesini mau memohon do’a”. mendengar KH Maujud berkata
demikian Syekh Mustaya menggebrak meja sambil mengatakan: “Kamu juga kan bisa
berdo’a, ngapain minta-minta doa.pada saya, Abahmu Syekh astari itu
mesantrennya bareng ama saya”. KH maujud dan temannya kaget karena gebrakan
meja itu, dan heran karena Syekh Mustaya mengetahui bahwa ia adalah putra Syekh
Astari padahal ia belum pernah silaturahmi kepada Syekh mustaya. Pertemuan itu
adalah pertemuan pertama.
Syekh Mustaya adalah kiayi yang
kharismatik dan penuh karomah. Selain mengajar santri ia juga sering berceramah
di berbagai tempat. Zaman itu masih banyak masyarakat yang bila mengadakan
hajat menanggap ubrug, jaipong, golek dan kemaksiatan lain. Tak jarang waktunya
berbarengan dengan ceramah Syekh mustaya. Para jawara telenges sering merasa gerah dengan adanya ceramah syekh Mustaya
yang sering menyinggung orang menanggap jaipongan dan sebagainya. Akhirnya para
jawara mengadakan berbagai macam upaya untuk menggagalkan ceramah Syekh
Mustaya.
Di suatu ceramah tiba-tiba speker
yang dipakai Syekh mustaya ceramah mati karena kabelnya ada yang memotong.
Akhirnya Syekh Mustaya mengambil sandalnya untuk dijadikan sebagai mix,
akhirnya suara Syekh mustaya menggema di loudspeaker seperti menggunakan mix
sungguhan.
Dilain acara ceramah yang barungan
dengan tanggapan ubrug, syekh Mustaya menggerakan teko yang berisi kopi kepada
para hadirin dari kejauhan. Teko ini menuangkan kopi kepada para hadirin satu
persatu tanpa ada orang yang memegangnya. Sehingga orang-orang yang semula
menonton ubrug jadi penasaran untuk menghadiri ceramah Syekh Mustaya.
Kembali kepada kisah kunjungan KH.
Maujud kepada Syekh mustaya.
Syekh Mustaya menceritakan kepada
KH. Maujud kisah tentang waktu ia dipesantren bersama Syekh Astari. Menurut
Syekh Mustaya, Syekh astari adalah sosok yang sukar dicari tandingnya akan
akhlak dan lain sebagainya.
Syekh astari adalah orang yang
mempunyai akhlak yang sangat sempurna ketika di pesantren. Ketawaduannya kepada
teman tidak ada bandingnya. Setiap mengaji di hadapan guru ia selalu datang
sebelum guru datang. Dan di dalam pengajian ia duduk bersama teman ketika
berdesakan selalu menaikan paha temannya di atas pahanya. Ia hanya mau memberi
tak mengharap diberi. Ia hanya mau memangku tak berharap di pangku. Ia hanya
mau membahagiakan tak mengharap balasan.
Teman yang sering di sandinginya
adalah syekh Mustaya, maka Syekh Mustayalah yang sering pahanya ditumpangkan di
atas paha Syekh astari. Suatu ketika ketika Syekh Astari tidak ada Syekh Nawawi
mengatakan kepada seluruh para santri bahwa ia melihat cahaya terang dari wajah
Astari dan menganjurkan kepada para santri untuk tidak berbuat yang kurang baik
kepada Syekh Astari.
Ketika mendengar penuturan Syekh
Nawawi itu, syekh Mustaya tidak mau lagi menumpangkan pahanya di atas paha
Syekh Astari walaupun Syekh Astari memaksa. Tapi tetap saja sepanjang pengajian
keduanya hanya sibuk menumpangkan paha temannya kepada yang lainnya. Sehingga
Syekh Mustaya akhirnya mengalah.
Ketika tiba giliran mengaji
berikutnya, Syekh Mustaya sengaja datang terlambat agar bisa menjauhi syekh
astari. Ia tahu pasti syekh Astari akan masuk majlis sebelum syekh Nawawi
datang. Setelah ia memastikan syekh Astari duduk di majlis, barula ia masuk
majlis dan sengaja ia duduk jauh dari tempat Syekh astari. Ketika Syekh mustaya
sedang asik mengaji betapa kagetnya ia karena Syekh Astari telah berada di
sampingnya dan telah menumpangkan paha syekh Mustaya di atas pahanya sendiri.
Syekh Mustaya menceritakan bahwa
Sekh Astari hanya mempunyai satu pakaian untuk dikenakan. Bukan karena ia tak
punya. Keluarganya adalah keluarga yang berkecukupan. Tapi karena bila ia mempunyai
dua baju atau lebih, maka ia akan segera memberikannya kepada orang lain. Ia
hanya mau mempunyai baju satu saja yaitu yang menempel di badannya. Ketika satu
baju ini di cuci ia berendam di dalam air sampai bajunya kering.
Begitu juga bila ia pulang dari
rumah membawa beras, lauk pauk dan sebagainya maka sesampainya di pesantren
semua beras dan yang lainnya ia bagikan kepad teman-temannya. Sementara ia
melalui hari-hari berikutnya dengan kepasrahan kepada Allah Swt.
SEMBILAN
SAHABAT BERPISAH
Setelah beberapa tahun mendapat
bimbingan dari Syekh Nawawi Mandaya, akhirnya Syekh Nawawi mempersilahkan
delapan orang ini untuk pulang ke kampungnya masing-masing guna mengamalkan
ilmu di masyarakat. Sebelum pulang delapan sahabat ini bersepakat untuk membantu
pembangunan rumah Syekh Nawawi yang kebetulan baru saja bersiap-siap akan
membangun rumah. Kebetulan mereka selain sebagai santri juga cakap dalam
pertukangan.
Syekh mustaya menceritakan bahwa
Syekh astari yang berbadan kurus sangat cekatan dalam mengerjakan apapun.
Apalagi ketika sampai mengerjakan bagian kuda-kuda di atas. Tubuh Syekh astari
begitu lentur bergelayutan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Syekh Mustaya
rupanya agak takut ketinggian. Ia ingin membantu syekh Astari di atas tapi ia takut
ketinggian. Rupanya Syekh Astari mengetahui gerentes hati Syekh mustaya,
akhirnya ia mengulurkan tangan kepada Syekh Mustaya untuk ikut naik. Mulanya
Syekh Mustaya ragu-ragu. Tapi akhirnya Syekh Mustaya menyambut tangan Syekh
Astari dan aneh ketika tangan syekh mustaya menyentuh tangan Syekh astari,
seluruh rasa takut itu hilang.
Rumah itupun setelah beberapa hari
hamper rampung kecuali ketika hendak membikin undak paling atas. Delapan
sahabat ini berbeda pendapat. Ada yang mengusulkan begini, ada yang begitu.
Akhirnya syekh Nawawi turun tangan sendiri untuk menentukan model yang ia
inginkan.
Kejadian undak itu adalah isyarat
bahwa sejadug-jadugnya murid tetap saja ujung penyelesaiannya adalah sang guru.
Setelah rumah selesai dibangun, Syekh nawawi memerintahkan delapan sahabat ini
untuk bertahannus selama empatpuluh hari empatpuluh malam di payon rumah
barunya itu.
Setelah selesai bertahannus, delapan
sahabat ini dipersilahkan pulang kembali ke kampungnya masing-masing untuk
mengamalkan ilmu di tengah masyarakat. Akhirnya setelah sekian tahun bersama
mulai dari pesantren Bunar asuhan syekh jaliman sampai di Mandaya kesembilan
sahabat ini berpisah.
KEHAUSAN
ILMU
Setelah pulang dari Mandaya, Syekh
Astari pulang ke cakung. Sesuai amanat gurunya ia mengamalkan ilmu semampunya
di tengah masyarakat cakung. Umurnya waktu itu sekitar tigapuluhan. Tidak ada
riwayat yang jelas apakah ketika itu ia sudah menikah ataukah belum. Pada zaman
dahulu sudah lazim santri yang telah layak menikah mempunyai isteri di sekitar
tempat ia mesantren sambil terus mengaji.
Walaupun telah diam di Cakung, syekh
Astari tidak menghentikan kehausannya akan ilmu agama. Kadangkala ia ke luar
cakung untuk mengaji pasaran. Tercatat Syekh astari kemudian mesantren kepada
Syekh Piyan di Laes. Juga kepada Syekh Misbah dan syekh Toyib di Koper.
Termasuk kepada Ki romli di Cideng Kresek. Juga kepada beberapa kiayi yang
lain.
Sekitar tahun 1920 Syekh astari
mendirikan pesantren di cakung. Berdatanganlah para murid dari berbagai
daerah.Syekh astari menekuni pesantren sampai kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1945.
SEMANGAT
SYEKH ASTARI UNTUK INDONESIA MERDEKA
Di masa
perang, Syekh Astari gigih memberikan semangat kepada para pejuang untuk siap
berperang merebut kemerdekaan. Ki Busyro mengisahkan bila saatnya tiba para
tentara berperang, maka Syekh Astari mempersiapkan gentong yang berisi air
kemudian para tentara itu satu persatu diberi minum dan di mandikan oleh Syekh
astari agar hatinya bersih dan penuh keikhlasan dalam berperang. Selain itu
untuk menambah keberanian tentara. Karena sebagian dari keistimewaan
putra-putra Banten adalah memiliki bakat keberanian yang turun temurun. Air
yang diberikan syekh astari itu hanya menambah dan mengasah keberanian yang
telah melekat ada di dada putra Banten. Takut, adalah kata yang tak diajarkan
bagi putra Banten sejati. Keberanian adalah jiwa, dan akhlak adalah hiasanya.
Sebelum kemerdekaan, Sukarno mendatangi Syekh astari
untuk bersilaturahmi dan memusyawarahkan bagaimana supaya Indonesia cepat merdeka.
Ketika itu Syekh Astari sedang bikin sebuah sumur, Sukarno pun ikut bersama
syekh astari memperhatikan para tukang penggali sumur. Sukarno memang sering
berziarah ke Cakung sejak muda. Disela-sela kesibukannya menggalang para
pejuang kemerdekaan, Sukarno menyempatkan waktunya untuk memenuhi hasrat
batinnya berziarah ke para wali termasuk kepada para wali di Cakung.
Ki Hamzah dari Talaga cisoka mengisahkan bagaimana
pertemuannya dengan syekh Astari di serang. Syekh astari menyatakan Indonesia
bisa merebut kemerdekaan dengan perjuangan dan do’a. Syekh Astari menyarankan
kepada orang-orang yang mampu untuk pergi haji ke Makkah dan berdo’a di hadapan
ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.
Ketika Ki Hamzah hendak mesantren ke Rangkas Bitung
bersama sekitar lima orang temannya melalui stasiun tenjo, ia bertemu dengan
dua orang yang berpakaian rapi. Kedua orang itu bertanya “mau kemana, dik?”. Ki
Hamzah dan teman-temannya menjawab “Kami mau mesantren di rangkas Bitung dengan
kreta, pak”. “O, kebetulan Kami juga mau ke Rangkas, biarlah adik semua bareng
dengan Kami saja!”. Tanpa menolak Ki hamzah dan teman-teman menuruti ajakan dua
orang tersebut. Mereka satu gerbong dengan keduanya. Semua ongkos Ki Hamzah dan
teman-teman di tanggung keduanya, bahkan seluruh penumpang di gerbong itu
biayanya ditanggung mereka berdua.
Rupanya tanpa disangka, tujuan Ki Hamzah dan
teman-teman sama dengan kedua orang yang berpakaian rapih itu, yaitu pesantren
di daerah rangkas. Setelah tiba di pesantern itu, rupanya di pesantern itu
sedang ada acara pertemuan akbar. kedua orang ini memang sedang ditunggu. Ki
Hamzah dan teman-teman heran, siapakah kedua orang yang bersama mereka di kreta
itu. Mengapa mereka berdua begitu ditunggu dan dielu-elukan. Ketika memasuki
pintu gerbang ada orang berseru “Selamat datang kepada IR. Sukarno pejuang
kemerdekaan Indonesia”!.barulah Ki Hamzah dan teman-teman tahu bahwa orang yang
bersamanya adalah Ir. Sukarno seorang pemuda yang selama ini menjadi buah bibir
anak bangsa akan kesemangatnya memperjuangkan Indonesia merdeka. Dalam
pidatonya Ir. Sukarno mengatakan Indonesia harus merdeka pada tanggal 17
agustus 1945.
Setelah beberapa tahun mesantren di Rangkas, ketika
Ki Hamzah telah berada di Cisoka. KH. Ahmad Khatib pidato di cisoka bahwa
Indonesia akan merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, sama dengan pidato Ir.
Sikarno di Rangkas.
Kemudian Ki Hamzah pergi Ke Makkah Al Mukarromah
untuk menunaikan ibadah haji ia bertemu dengan Syekh Astari cakung di rumah Syekh
Nawawi di Syib Ali. Kemudian mereka berdo’a di depan ka’bah untuk kemerdekaan
Indonesia.
Dalam kisahnya Ki Hamzah meriwayatkan bahwa selain
bertemu dengan Syekh Astari ia juga bertemu dengan Syekh Nawawi Tanara.dan
Syekh hasan bashri. Padahal Syekh Nawawi Tanara dan Syekh Hasan Bashri telah
wafat ketika itu. Apalagi syekh hasan Bashri telah wafat sekitar tigaratus
tahun. Pertemua dengan para ulama yang wafat adalah hal yang lumrah dalam dunia
pesantren. Karena orang-orang mulia itu sebenarnya tidak mati.
Menurut Ki Hamzah, setelah berdo’a bersama Syekh
astari, Syekh Hasan Bashri dan Syekh Nawawi, Syekh Hasan Bashri Cakung
mengatakan “Kalau sudah berdoa semuanya harus segera pulang ke Jawa untuk
mengawal kemerdekaan Indonesia!”. Akhirnya semuanya sepakat untuk segera
pulang, namun kapal yang mengangkut mereka tidak ada. Kemudian Syekh Hasan
bashri bertanya “siapa yang bisa menyiapkan kapal?. Kemudian Syekh Hasan Bombay
mengatakan saya siap menyiapkan lima kapal” kata Syekh Hasan bahsri “ kalau
Cuma lima masih kurang, siapa lagi yang bisa menyiapkan sisanya?” kemudian ada
seorang janda kaya namanya Nyi ratu Juriah yang sanggup menyiapkan tiga kapal.
Akhirnya mereka dan para orang-orang Banten dan nusantara yang berada di makkah
pulang ke Indonesia.
LEBUR
BERSAMA TUHAN
Setelah kemerdekaan Indonesia Syekh Astari di sapa
Tuhan dengan cintanya. Ia majdzub terserat cahaya rabbani. Yaitu keadaan di
mana seorang hamba lebur membaur bersama kasih sayang tuhan atau dalam dunia
sufi di sebut fana fillah. Keadaan di
mana dunia beserta segala isinya tiadalah menarik hatinya kecuali hanya
mengharap cinta dan keridoannya. Keadaan di mana hati ini sudah tiada
memperdulikan lagi segala apa pendapat makhluk kepadanya kecuali hanya
pandangan Allah.
Keadaan di mana asa dan rasa telah terbakar hangus
oleh api cinta yang membara kepada Allah. Hakikat terasa begitu Nampak tak
berselimut gerhana basyariyah. Yang ada hanya Tuhan, tiada yang lain lagi. Hati
terasa begitu ringan tanpa beban. Bersinar sejuk putih mempesona tiada tara.
Tiada lagi hiqid terselip. Tiada lagi luka akibat benci. Tiada noda hasad.
Berkemilau bagai berlian. Dan anggun bagai mutiara tanah Lombok.
Demikianlah jalan hidup Syekh astari. Allah
memilihnya untuk menjadi bagian dari kekasihNya, wali-Nya yang menjadi oase
bagi hamba-hambaNya di tengah gersangnya kehidupan rohani.
Syekh astari kemudian mewaqafkan hidupnya hanya untuk
kebahagiaan sesame. Ia berkeliling membangun masjid-masjid dan majlis taklim.
Ia buka jalan-jalan baru untuk dapat dilalui manusia. Ia membuat irigasi untuk
pemandian masarakat dan pertanian. Ia buat danau-danau kecil di depan masjid
dan di tengah perkampungan.
KELUARGA
SYEKH ASTARI
Syekh Astari menikah beberapa kali.
Di cakung beliau menikah dengan Nyi Aisah mempunyai anak satu yaitu Ratu
Asiroh. Kemudian menikah dengan putri Ki Misbah Koper mempunyai anak Syekh
Bakri. Dengan Nyi Dewi mempunyai anak Muhammad Gaosul alam. Dengan Nyi Sabnah
Koja mempunyai anak 5 yaitu: Muhammad nawawi, Nyi suaroh, Maulana Yaudin
(Badong), KH. Maujud dan Anwar Kamil.
RIWAYAT-RIWAYAT
TENTANG SYEKH ASTARI
Kehidupan yang indah. Itulah
kesimpulan bila kita mengenang tokoh syekh Astari cakung. Ketika masa hidup
beliau setiap hari Kampung cakung ramai oleh para peziarah yang ingin memohon
do’a dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petani, pedagang,
nelayan, pejabat tinggi sampai rendahan, anak-anak semuanya ingin bertemu
dengan syekh astari dan memohon petunjuk akan masalah yang merek hadapi.
Setiap orang yang pernah berkunjung
kepada beliau mendapatkan kesan yang begitu dalam. Bahkan tak jarang mereka
mendapatkan hal-hal gaib dan aneh yang berada di luar aqal. Bisa dikatakan
Syekh astari adalah Wali yang banyak Allah dzahirkan keramatnya kepada manusia
pada zamanya. Buku kecil ini bukanlah buku penelitian juga bukan buku pencakup
seluruh keramat-keramatnya karena waktu yang tidak cukup untuk mendatangi para orang-orang
yang memiliki kisah-kisah indah bersama Syekh astari. Buku kecil ini hanyalah
setetes embun dari segara kisah tentang beliau.
Penulis akan memberikan beberapa
kisah tentang syekh astari yang penulis dapatkan dari orang-orang yang berada
di lingkungan penulis saja.
Ustad Karman dari talok menyebutkan
ada seorang pedagang minyak wangi dari Balaraja mengaku selalu berdagang sepi
dan rugi. Suatu ketika minyak wanginya ini di ambil tanpa permisi oleh Syekh
Astari. Sang pedagang ini membiarkan saja. Lalu Syekh Astari menyemprotkan
minyak wangi itu kepada orang-orang yang ditemuainya. Setelah kejadian itu,
dagangannya menjadi laris dan maju.
Ia juga meriwayatkan, ada dua orang
dari bekasi meminta Ki Karsam (mertuanya) untuk mengantar mereka ke Syekh
astari. Setelah sampai rumah beliau, beliau berkata sambil menghadap kiblat
“ada orang yang ditunggu kuburan tigahari lagi!” singkat cerita, dua orang dari
bekasi ini pulang. Kebetulan tujuan ke rumah mereka melewati kali, dan harus
naik perahu bila mau samapai. Ternyata perahu ini terbalik dan salah seorang di
antara mereka meninggal tepat di hari yang ketiga seperti yang dikatakan Syekh
Astari.
Ia juga meriwayatkan pertemuan
pertamanya dengan syekh astari. Setelah sampai di hadapan syekh Astari, beliau
berkata: “Alhamdulillah, saya kedatangan tamu dari Petir, Rembang dan Cianjur”.
Ustad Karman kaget, nama-nama daerah yang disebutkan syekh astari itu adalah
nama-nama tempat ia mesantren padahal ia belum pernah bercerita di mana ia dulu
mesantren.
ia juga mengkisahkan tentang rencana
kondangan H. Abdul ghani dan rombongan ke Petir. Karena mobil sudah penuh
akhirnya Syekh astari yang berencana ikut di tinggal karena tempat yang kosong
hanya di belakang. Menurut H. Abdul Gani tidak pantas syekh Astari duduk di
belakang sedangkan di depan juga sudah ada kiayi lain yang sudah duduk.
Kebetulan syekh Astari belum datang. Akhirnya mobil ini berangkat tanpa Syekh
astari. Sampai renged tepatnya di ki buyut Ketul mobil ini mogok. Para mekanik
berusaha menservis mobil ini agar jalan, tetap saja mobil ini mogok. Akhirnya
setelah lama barulah H. abdul ghani ingat bahwa ia telah meninggalkan Syekh
astari, akhirnya Syekh astari disusul. Setelah Syekh Astari duduk, mobil ini
langsung menyala setelah di engkol.
Mang Udin dari cakung menyebutkan,
dulu ia adalah seorang supir. Ketika ia mau berangkat ke Jakarta di kandaggede
ia diberhentikan oleh syekh Astari dan memintanya untuk mengantarkan ke
Koja-Bolang. Dia mengatakan tidak bisa karena sedang buru-buru berangkat ke
Jakarta. Secara tiba-tiba mobilnya mogok. Orang-orang yang ada di sekitar jalan
membantu mang udin mendorong mobil, tapi tetap mogok. Akhirnya mang udin
mempersilahkan Syekh astari duduk dalam mobil. Kemudian mobil didorong lagi dan
langsung menyala.
Mang Buang mengkisahkan, di
Pesantren syekh astari ada sebuah pohon kelapa tumbang. Para santri berusaha
mengangkatnya. Karena kelapa ini besar mereka tidak kuat. Pada waktu malam
kemudian Syekh Astari keluar dari rumah. Mang buang memperhatikan kemana Syekh
astari malam-malam begini mengenakan kaos dan celana komprang. Ternyata ia
mendekati pohon kelapa yang tumbang itu. Kemudian Syekh astari mendekatkan
jempol kakinya ke pohon kelapa itu. Dan kemudian menjungkitkan jempol kakinya.
Subhanallah hanya dengan menjungkitkan jempol kakinya akhirnya pohon kelapa ini
terangkat sampai ketempat pembuangan.
UANG
BARU SYEKH ASTARI
Semasa hidup Syekh Astari beliau
sering membikin coretan dikertas untuk para tamu yang mendatangi beliau. Beliau
menyebut coretan kertas ini dengan uang baru. Di dalamnya terdapat coretan
berupa hurup-hurup dan angka-angka serta beberapa kalimat.
Setelah wafatnya beliau uang baru
ini banyak dicari orang. Beberapa keramat uang baru ini dirasakan oleh
masyarakat karena uang baru ini di tulis oleh seorang waliyullah.
Ketika penulis berangkat haji banyak
para jamaah yang memfoto copy uang baru Syekh Astari ini untuk diletakan dalam
koper haji. Kata penulis kepada mereka walaupun memang uang baru ini diberikan
keramat oleh Allah, tapi kalau hanya fotocopy mungkin tidak akan manjur.
Setelah sampai bandara Jeddah, semua
koper para jamaah yang ada fotocopy uang baru Syekh astari ini selamat tidak
mendapat pemeriksaan dari petugas bandara, sedangkan koper penulis sampai dua
kali dibongkar.
WAFATNYA
SYEKH ASTARI BIN MAULANA ISHAQ
Setelah perjalanan yang cukup
panjang dalam kehidupan yang penuh keindahan, Syekh Astari bin Maulana Ishaq
kembali ke hadirat Al Rafiiq Al-a’la pada
hari jum’at jam 05 subuh taggal 28
Dzulqo’dah berbarengan dengan 24 juli tahun 1987 dalam usia 99 tahun.
Waktu sy kecil, Uang Baru Ki Astari di rumah saya banyak sekali hampir Setas kecil (body bag). Iseng2 waktu kecil saya suka buka Uang Baru yang tulisannya itu berupa angka 6 itu ditengahnya ada tanah sebesar ibu jari.. kira2 apa yah.?
BalasHapusPerlu diketahui ayah saya kalau ke Cakung selalu disediakan makan oleh beliau dan makan bersama dengan beliau... Ayah saya sangat mahabah sekali dengan beliau. Setiap cerita karomah para kiyai pasti Nama Ki Astari (begitu ayah menyebutnya) selalu disebut-sebut.
Sekarang dimana yah ayah simpan....