SYEKH
AHMAD HASHURI BIN THAHIR AL-KALURANI AL-BANTANI
(BUYA
KALORAN)
Oleh:
KH.
Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
(Pengasuh
ponpes Salafiyah Nahdlatul ulum Cempaka Kresek Banten)
Nama
lengkapnya adalah Tubagus Ahmad Hashuri
bin Tb.Ahmad Thohir bin Tb. Ali bin Tb
Soleh bin Tb. Hafidz bin Pangeran Qodli bin Sulthan Zaenal Asyiqin bin Sultan Haji bin Sultan Agung Tirtayasa bin Sulthan
Abu Maali Ahmad bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir bin Sulthan Maulana Muhammad Nashruddin bin Maulana Yusuf bin
Sulthan Maulana Hasanuddin.
Lahir
dari seorang wanita solihah bernama Hj.
Hafsah binti Hasan pada tanggal 30 desember tahun 1930 di Kaloran kidul serang
Banten.
Mengaji
pertama kali ilmu alqur’an dan qiroat kepada syaikhul Qurro Al-Alim Al-Qaari
Syekh Soleh ma’mun Al-lantary Al-Bantani di Lontar. Kemudian pada umur
limabelas tahun tepatnya tahun 1945 dikirim oleh ayahandanya ke Pesantren
Pelamunan asuhan Alimu zamanihi Al-Syekh Tohir al-Falamuni al-Bantani. Kelak
Syekh Tohir al-falamuni al-Bantani mengangkat Ahmad Hashuri menjadi menantunya.
Ketika
mesantren di Pelamunan satu kurun dengan KH. Abdul Muin lontar, KH. Abdul Aziz
kelapa dua dan Syekh suhaimi As-Sasaki al-Bantani kronjo.
Setelah
tiga tahun mesantren di pelamunan, pengelanaan Syekh Ahmad hashuri diteruskan
ke Pesantren Kadupesing Pandeglang asuhan Syekh Tb. Abdul Halim dan Syekh Ace
Syadzeli yang merupakan kemenakan Syekh Abdul Halim sendiri. Syekh Abdul Halim
pernah di amanatkan oleh KH. Tb. Ahmad Khotib (residen Banten pasca
kemerdekaan) sebagai Bupati pandeglang. Syekh Abdul Halim bagi Syekh Ahmad
Hasuri selain sebagai guru ia juga adalah kakek guru karena Syekh Tohir
pelamunan juga pernah nyantri di Kadupesing. Syekh Tohir pelamunan selain
nyantri di Kadupesing juga nyantri di pesantren Kaloran asuhan Syekh Yahya
al-kalurani al-Bantani dan di pesantren asuhan Syekh Husain Carita.
Di
Pesantren kadupeusing Syekh ahmad Hasuri satu kurun dengan Syekh Muhammad
Dimyati (Buya Dimyati) cidahu. Di pesantren ini syekh Ahmad Hashuri hanya
delapan bulan karena kemudian ia dinikahkan dengan putri Syekh tohir pelamunan
yang bernama Hj. Nadrah.
Setelah
menikah beberapa saat, syekh Hasuri meneruskan pengelanaan ilmiyahnya ke Makkah
al-mukarromah pada tahun 1950 tanpa membawa isteri. Di Makkah ia tinggal di
rumah Syekh Nawawi al-Tanara al-bantani di syib Ali. Waktu itu rumah Syekh
Nawawi di tempati oleh cucu Syekh Nawawi yang bernama Sayyidah ma’tuqah dan
sayyid ali.
Di
Makkah al-Mukarromah Syekh Hasuri belajar kepada para ulama terkemuka pada
waktu itu yaitu syekh Muhammad Amin Quthbi, Syekh Hasan bin Muhammad al-Masyath
(Muhaddisul haramain), Syekh abdul Qadir al-mandaili, Sayyid Alawi al-Maliki
dll.
Syekh
Hasuri mengkaji kitab Fathul muin dan tafsir jalalain di masjidil haram kepada
Syekh Abdul Qodir al mandaili. Sedangkan kepada Syekh Muhammad Amin Quthbi
mengkaji ushulul Fiqh. Mengkaji ibnu Aqil dan kitab Attarghib wattarhib kepada
Sekh Sayyid Alawi al-maliki. Mengkaji alfiyah ibnu malik dan Syawahidul
Haq kepada syekh Baljihi Al-mishri.
sementara kepada Muhaddisul haramain Syekh Hasan Al-Masyat mengkaji ilmu hadis.
Setelah
menetap dua tahun di makkah isteri syekh Hashuri menyusul ke Makkah di antar
oleh kakaknya Syekh Zeni bin tohir yang di kenal dengan Kiayi inting. Di Makkah
lahirlah putranya yang pertama yang bernama tubagus Nuruddin (kelak mengasuh
pesantren di pelamunan).
Setelah
lima tahun
tinggal di makkah kemudian pindah ke Toif. Di Toif selain menuntut ilmu ia juga
dipercaya mengajar di Madrasah suudiyah. Kecemerlangan otak Syekh Hashuri
membuat Mudir Madrasah assuudiyah tertarik untuk menariknya sebagai pengajar,
padahal sangat sulit orang ajami dapat mengajar di madrasah resmi pemerintah
Saudi.
Di toif
beliau mengkaji kitab Ibnu katsir kepada seorang ulama mesir. Anaknya yang
kedua yang bernama tubagus Abbas lahir di kota
Toif ini. Namun pada usia 16 tahun Abbas meninggal di Banten.
Setelah
dua tahun tinggal di Toif, syekh hasuri tak dapat menahan kerinduannya untuk
pulang ke negerinya Banten. Di Banten ia tidak tinggal di Pesantren pelamunan
tapi lebih memilih menyebarkan ilmu di kota
Serang di kampung halamanya Kaloran. Ia memimpin madrasah Khaerul huda di
Kaloran dan Al-insaniyah milik gurunya Syekh Soleh Ma’mun Al-bantani di Lontar.
Di
sela-sela kesibukannya mengajar di kedua madrasah itu, beliau berdagang emas di
pasar lama Serang meneruskan ayahnya yang merupakan saudagar emas di kota itu.
Kesibukan
mengajar dan berdagang tidak menyurutkan kehausannya akan ilmu. Beliau sering
bepergian di bulan ramadlan untuk mengaji pasaran ke berbagai pesantren dari
mulai Banten sampai ke Jawa.
Pada
tahun 1970 ketika umurnya genap 40 tahun Syekh hashuri tahir mendirikan
pesantren At-thohiriyah di Kaloran. Berdatanganlah para santri dari berbagai
daerah. Setiap hari ahad beliau mengadakan pengajian mingguan kitab Ihya
ulumuddin di pesantren. Para kiayi dan
masyarakat mengikuti pengajian ini.
Ulama
yang pandai berbahasa inggris, Jerman dan arab ini selain menikah dengan hj.
Nadrah beliau juga menikah dengan Hj. Mahfudzah dari menes dan di karuniai 9
anak.
Semoga
Allah memanjangkan umurnya. Amin.
(BUYA CISANTRI)
Oleh:
Imaduddin Utsman
Nama
lengkap beliau adalah Ahmad Bushtomi bin Ahmad Jasuta. Beliau adalah pendiri
dan pengasuh pesantren salafiyah Al-hidayah Cisantri, Cipeucang, Pandeglang
Banten.
Istiqomah dalam kesantrian dan
keulamaan adalah kata yang bisa diungkapakan untuk menggambarkan kiayi yang
kharismatik ini. Waktunya habis untuk mengajar para santri dan beribadah kepada
Allah Swt. Santri dan masyarakat sekitarnya memanggilnya Buya Busthomi.
Panggilan Buya adalah panggilan untuk kiayi yang telah melampaui derajat
tertentu dalam ilmu dan makrifat.
Kezuhudan dan wara adalah prinsip
hidup yang dipegangya erat-erat. Ketegasan dan keberanian adalah sifat yang
menonjol dari Buya Bushtomi. Di samping memang ilmu kedikjayaannya telah banyak
yang membuktikan.
Dihikayatkan ketika awal-awal Buya mendirikan
pesantren banyak mendapatkan tantangan dari berbagai kelompok masyarakat.
Bahkan ada yang bermaksud mengusir beliau. Puluhan orangpun telah mengepung
rumah beliau dengan berbagai macam senjata tajam. Beliau bukan malah takut,
beliau mencabut pohon yang cukup besar yang ada di sekitar rumahnya. Kelompok
pengepung itupun gentar dan mengurungkan niyat jahat mereka.
Beberapa kali Buya berurusan dengan pihak kepolisian karena
membela santrinya yang menghadapi masalah. Bahkan Buya pernah dipenjara karena
hal tersebut. Dihikayatkan pada awal tahun sembilanpuluhan ada santrinya yang
dipukuli kondektur sebuah mobil bus. Kemudian puluhan santri mencegat Bus itu
sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan seorang kondektur terluka
akibat bacokan santri. Akhirnya pihak managemen bus itupun melaporkan santri
Al-hidayah ke pihak kepolisian. Sebagai pengasuh pesantren Buya Bustomi
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan santri-santrinya itu. Buya pun
ditahan di kantor kepolisian.
Ketika proses hokum itu berjalan, perusahaan bus itu
mengalami kerugian besar. Banyak penumpang yang enggan menaiki bus itu karena
takut kewalat kepada Buya Bustomi. Dan memang banyak bus dari perusahaan itu
yang mengalami berbagai macam kecelakaan. Mungkin itu adzab tuhan bagi
orang-orang yang sombong kepada para ulama. Wallahu
a’lam bi al shawwab.
Pada era Suharto berkuasa, Buya Bushtomi berada di
luar pagar Suharto. Beliau mendukung partai berlambang ka’bah sebaga di partai
yang berazaz Islam. Selain sebagai kecintaannya kepada Islam, dukungannya ke P3
adalah sebagai lambang perlawanannya kepada Suharto.
Dihikayatkan, ketika masa kampanye P3 tiba, hari itu
seluruh SPBU tidak ada bensin. Mungkin suatu kesengajaan agar kampanye P3 tidak
semarak. Panitia pun bingung, padahal kemarin ketika kampanye Golkar, SPBU
seluruhnya tidak kekurangan bensin. Akhirnya Buya Bushtomi, memerintahkan para
peserta kampanye yang membawa kendaraan untuk mengambil air sawah untuk
dijadikan bahan bakar. Awalnya banyak yang tidak yakin, namun akhirnya
keyakinan kepada Allah melalui orang yang di cintai-Nya membuat para peserta
menurut perintah Buya. dan subhanallah, hari
itu seluruh kendaraan dapat berjalan sampai selesai kampanye hanya berbahan
bakar air sawah yang di-jampi Buya Bushtomi. Wallahu a’lam.
Selain berani beliau juga adalah ulama yang sederhana,
santun dan tawaddu. Penulis pernah bersilaturrahmi dengan beliau di rumahnya
yang dari luar nampak cukup bagus tapi ketika sampai di dalam sungguh sangat
sederhana. Hanya ada alas tak ada bangku mewah. Dan sebuah almari yang berisi
kitab-kitab. Kesan galak yang selama ini penulis dengar, tidak nampak ketika
berhadapan dengan beliau yang begitu santun menghadapi tamu-tamunya, termasuk
penulis. Penulis juga nyantri kepada Buya pada bulan ramadlan untuk mengkaji
kitab tafsir Marah labid atau yang
lebih dikenal dengan tafsir munir karangan Syekh nawawi al-Bantani, ulama
monumental asal Tanara Banten.
(BUYA DIMYATI CIDAHU)
Oleh:
Imaduddin Utsman
Beliau bernama lengkap Muhammad
Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27
Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Nasabnya bersambung kepada Nabi
Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin
Sulthan Banten pertama.
Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing, pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing, pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
Guru-guru beliau di antaranya adalah
Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur,
Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi
Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru.
Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan
mereka rahimahumullah.
Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika
beliau nyantri. Ketika mondok di watu congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada
para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah
isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi
masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya dan
disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh
ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu kamu ketahui di sini gak ada ilmu, ilmu itu
ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu. Saya tetap mau
ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan gak boleh punya
teman.
Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau
disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai
akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat
syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau
menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak
pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian setelah istikharah dan
menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah
dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.
Di pondok Bendo
pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal
Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini
oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.
Murid-murid beliau menyebar dari
berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang
pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap
sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali
atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya
memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya
sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau
setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang
berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah Ki Mufassir Padarincang, Abah ucup Caringin, Habib
hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul musthofa, Jakarta dan tentunya
putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi..
Abuya bagi masyarakat Islam laksana
oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang
keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang
istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi.
Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu
sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng
saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta.
Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab.
Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa
dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk
orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat
bertemu dengannya.
Penulis adalah salah seorang yang
beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri
di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu penulis belum pernah bersilaturahmi kepada
Buya. baru ketika penulis nyantri di Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik
seperguruan Buya ketika di Kadupesing, penulis sering berziarah kepada beliau.
Penulis mengikuti marhaban bersama beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian
malam selasa bersama beliau. Waktu itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman. Alhamdulillah penulis begitu beruntung ketika
santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis tak menghiraukan pelajaran
karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah Buya. yang begitu khusyu
membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika mata indah itu memandangi
penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma
zid syarafah.
Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak
lama isteri penulis hamil. Kebetulan isteri penulis sedang berobat jalan ke
dokter karena sebuah penyakit. Menurut dokter obat yang harus diminum ini harus
rutin diminum sampai beberapa bulan. Dan obat ini bertentangan dengan
kehamilan. Artinya bila terus meminum obat ini, kehamilan harus ditunda, kalau
tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu itu dokter memberitahu penulis tanpa
diketahui oleh isteri. Penulis bingung. Umur kandungan sudah dua bulan lebih,
alangkah berdosanya dan yang paling mengganjal adalah, penulis adalah seorang
santri yang diajarkan nilai-nilai kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh
para kiayi. Masa iya penulis tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan
dari sang dokter. Akhirnya penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya.
Malam jum’at itu penulis berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap
sampai di pesantren Buya sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan
beliau. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan
Buya. setelah marhaban, sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari
majlis Buya. dipintu majlis telah menunggu
pembagi kue selimpo. Setiap
habis marhaban santri dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu
waktu subuh di kamar santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis
di pesantren Sampang mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar
tingkat yang sempit yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan.
Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke majlis
buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya.
sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan
syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis
sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang
di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a.
Penulis muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti
Buya tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam
hati penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk
ke majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani
penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari
majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi
tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini.
Derigen air sudah penulis kendurkan
agar bila Buya selesai wirid, penulis langsung memohon didoakan. Do’a untuk
isteri dan kandungannya. Buya berdehem masih menghadap kiblat. Kepalanya yang
dibalut serban sepertinya agak menengok ke samping sedikit, agaknya buya ingin
tahu siapa orang yang menunggunya ini.
Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis. Kemudian
beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau sudah ada
teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi bermaksud
menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya Buya
bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu? Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti
bahasa sunda itu, yang artinya : dari
mana ini? Penulis langsung berkata
sambil mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat
lain yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri
dan kandungannya pun tak sanggup penulis
ungkapkan. Haibah dan wiqar beliau begitu agung dan dahsyat.
Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya
ke derigen air itu, beliau meludahinya. Kemudian penulis pamit bermaksud
mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau menariknya, seakan tak mau
salaman lagi. Penulis agak maras,
dalam hati penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis
keluar dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika
penulis sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih
memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung.
Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu,
penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis
menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat
senyum bibir buya mengembang.
Alhamdulillah, allahumma zid syarafah.
Air
yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis
langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum
lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis
lahir dengan normal dan selamat serta penyakit isteri penulis itupun sembuh.
Semua itu atas idzin Allah Swt. Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu.
Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab
1379/1959. juga kitab ashlul qadr
tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari,
dan alhadiyyat aljalaliyah tentang tareqat syadziliyah.
Manusia mulia yang sulit dicari
penggantinya ini wafat malam jum’at jam 03:oo WIB tanggal 07 sya’ban 1423 H.
bertepatan dengan 03 oktober 2003 setelah bermarhaban baru selesai. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa
rabbiki raadliyatam mardliyyah fadkhulii fii ibaadii wadkhulii jannatii.
Waalahu a’lam bi al shawwab….
KH. AHMAD WASI’
(BUYA PERTAPAN)
Oleh:
Imaduddin Utsman
Nama lengkapnya adalah Ahmad Wasi’ul
Hasan. Beliau adalah menantu Syekh Nawawi Mandaya bin Muhammad Ali pengarang
kitab Murad al Awamil. Hidup sebagai pemuda pada masa perang mempertahankan
kemerdekaan. Beliau ikut terjun ke medan perang bersama lascar Sabilillah. Di
kisahkan beliau tidak segan-segan memenggal kepala tentara belanda di medan
perang.
Jiwa yang keras laksana batu karang
kemudian beralih seratus delapan puluh derajat ketika beliau menjalani dunia
sufi. Setelah tentara belanda minggat untuk kedua kalinya, KH. Wasi memilih
tinggal dipesantren yang berada di kampong halamannya di kampong pertapan
kecamatan Binuang kabupaten Serang.
Beliau menjalani dunia sufi bertariqah
al Qadiriyah wa Al Naqsyabandiyyah. Guru tariqah beliau adalah Syekh Aliyuddin
Salib ulama kharismatik dari Kubak rante Bekasi.
Hari-hari beliau dihabiskan untuk
beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Swt. Selain setiap hari pula beliau
mengajar para santri yang seluruh biaya makan para santri itu ditanggung oleh
beliau. Beliau tinggal digubuk bambu kecil di dekat rumahnya. Di tempat inilah
beliau mengajar santri dan menerima tamu serta bertawajjuh kepada Allah swt.
Kewaraan dan kejuhudan Buya Pertapan,
demikian kemudian beliau dikenal, sudah terkenal oleh khalayak ramai. Beliau
tidak mau menggunakan pengeras suara dalam setiap pengajian, khutbah dsb. Beliau
juga tidak mau menerima sumbangan dari pemerintah untuk pesantrennya. Jalan
akses menuju pesantren yang akan dibangun oleh pemerintahpun ditolak. Batu-batu
yang sudah berada dilokasi diminta untuk diangkut kembali.
Ketika perjuangannya selama perang
sabilillah mendapat apresiasi pemerintah dan namanya tercatat sebagai veteran
perang ia menolak untuk mengambil gajih veteran, karena baginya perjuangan
membela Negara tak dapat di ukur oleh rupiah. Dikisahkan pula ketika beliau
diundang mendatangi seorang pejabat untuk sebuah alasan yang sangat penting,
ketika beliau pulang, pejabat ini menghadiahkan sebuah mobil mewah. Di tengah
jalan, mobil mewah ini di jerumuskan oleh beliau ke jurang. Bagi beliau hidup
di dunia ini tak memerlukan kemewahan seperti itu.
Ketika penulis selama sebelas hari
berada di pesantrennya untuk berijazah tariqah, dan itu adalah nikmat yang sangat
besar bagi penulis, karena tidak setiap orang yang berkeinginan menjadi murid
tariqahnya diterima, penulis mendapatinya setiap malam selalu merintih
dihadapan Allah sampai pagi menjelang.
Kepada murid-murid selain terkenal
sebagai guru yang keras mendidik santri, beliau juga sangat perhatian dalam
praktik ibadah santri-santrinya. Penulis pernah dipanggil untuk mempraktikan
cara bersujud yang baik, kemudian dengan tangan beliau yang mulia kaki penulis
disentuh untuk dapat memperaktikan posisi kaki yang sempurna ketika sujud.
Silsilah Tariqah beliau sampai Rasulullah
adalah, beliau mengambilnya dari Syekh Aliyuddin salib dari Syekh Abdul
Muthallib Karawang, dari syekh Asnawi Caringin, dari syekh Abdul karim tanara,
dari syekh ahmad khatib syambas, dari syekh syamsuddin Albagdhadi, dari syekh
syarifuddin, dari syekh Muhammad murad, dari syekh Abdul Fattah, dari Syekh
kamaluddin, dari syekh Utsman, dari
Syekh Abdurrahim, dari Syekh Abu Bakar, dari syekh Yahya, dari Syekh
Hisamuddin, dari Syekh waliyuddin, dari syekh Zaenuddin, dari syekh
Syarafuddin, dari syekh Syamsuddin, dari Syekh Muhammad Al hatik, dari Syekh
Abdul Aziz, dari syekh Abdul qadir Al-jailani, dari syekh Abi said al-mahzumi,
dari Abil husain al-Haegari, dari Abil farah Al-tartusi, dari abdul Wahid
al-Taimi, dari Abi bakar Dulaf Al-Syibli, dari Junaid Al-baghdadi, dari Sirri
Al-siqthi, dari Ma’ruf al-kurhi, dari Ali bin Musa al-ridlo, dari Musa
al-kadzim, dari Ja’far al-Siddik, dari Muhammad al-Baqir, dari Ali zaenal
Abidin, dari Husain bin Ali, dari Ali bin Abi Tholib dari Rasulullah saw.
Murid-murid beliau banyak yang telah
mempunyai pesantren dan menjalani dunia sufi, di antaranya: KH. Mufassir
Padarincang, Buya Bahruddin Kasemen, KH. Anjani Bolang, dll.