MENGENAL
SOSOK
BUYA CAKUNG
SREWU
KH.
MUFTI BIN ASNAWI
Oleh
KH. IMADUDDIN UTSMAN
(PENGASUH PONPES NAHDLATUL ULUM
CEMPAKA)
MENGENAL SOSOK
BUYA CAKUNG SREWU
KH. MUFTI BIN ASNAWI
Di Susun oleh:
KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
1432 H/2011
NAMA DAN KELAHIRAN
Beliau
bernama lengkap KH. Mufti bin Asnawi bin Bahauddin bin Ramli bin Alim bin Abdullah bin ibrohim bin syekh hasan
bashri bin fatimah binti Syekh ciliwulung bin Raden kenyep bin Pangeran Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun Sumedang. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad saw melalui Sayyidina
Husein ra.
Beliau adalah keturunan ke sepuluh
dari Syekh Ciliwulung, adalah seorang penyebar agama Islam di daerah Banten Utara
di Makamkan di Kp. Cakung Gegunung dekat Cakung Srewu.
KH.
Mufti bin Asnawi lahir pada tanggal 02 januari 1935 di Kampung Cakung Bojong,
bersebrangan dengan Cakung srewu. Ketika itu Bangsa Indonesia masih berada
dalam cengkraman colonial Belanda. Semangat pembebasan dari penjajahan yang
pantang menyerah kemudian menjadi
penyulut semangat beliau dalam menuntut ilmu ketika usia remaja.
PENGELANAAN ILMIYAH KH. MUFTI ASNAWI
KH. Mufti
bin Asnawi mengawali belajar di Kampungnya hingga usia menganjak remaja. Selain
kepada ayahnya beliau juga menuntut ilmu di kampong halamannya kepada Ki
Pingil, Ki Ibrahim dan Ki Astari. Cakung dikenal sebagai daerah yang telah
mengenal tradisi ilmu keislaman sebelum
tradisi ilmu keislaman Tanara, tempat
kelahiran Syeh Nawawi Al-bantani. Minimal sebelum kelahiran pujangga besar
islam Banten, Syekh Nawawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan diketemukannya
naskah-naskah klasik yang berangka tahun sebelum 1813, tahun kelahiran Syekh
Nawawi Al-bantani. Bahkan Syekh nawawi sendiri sebelum berguru ke Makkah beliau
berguru kepada Ki Ayip Cakung teman ayahnya sendiri yaitu ki Umar bin Arabi.
Hal inilah
yang menjadikan suasana kebatinan seorang Mufti remaja begitu semangat menuntut
ilmu. Yakni lingkungan ilmiyah yang begitu kondusif untuk mendukung seorang
anak menjadi terpacu untuk menereruskan tradisi keilmuan yang turun-temurun.
Setelah
dirasa cukup umur, Ki Asnawi, seorang pedagang yang juga fasih dalam tradisi
kesantrian mengirim anaknya untuk mengawali pengelanaan ilmiyah anaknya ke
Pesantren Singarajan di daerah Pontang, serang. Pesantren Singgarajan diasuh
oleh Kiayi Kharismatik ketika itu yang dikenal faqih dan ahli segala bidang
ilmu yaitu KH. Marsyad.
Dipesantren
ini KH. Mufti mengalami berbagai macam kejadian aneh di antaranya di kisahkan
syekh Ciliwulung datang bukan dalam keadaan mimpi untuk mengajar Mufti remaja
kitab Matan Taqrib secara musafahah.
Semangat
yang tinggi dalam menuntut ilmu menjadikan KH. Mufti menghabiskan seluruh waktunya untuk mengaji.
Baik mengaji bandungan di depan kiayi maupun sorogan di depan santri senior.
Bagi KH. Mufti kecil, banyak tidur adalah kerugian bagi seorang santri. Maka
KH. Mufti hanya tidur dengan berbantalkan cumplung kelapa agar tak nyenyak.
Menghafal juga adalah kegemaran KH. Mufti sejak kecil. Beberapa kitab nadzam
berhasil beliau hafal dalam waktu singkat.
Ustad Bagja,
teman sekamarnya berseloroh: “Satu kamar dengan Ki Mufti tidak bisa tidur
nyenyak, karena mulutnya tidak pernah berhenti menghafal nadzam”.
Santri-santri
senior yang ketika mula-mula kedatangan KH. Mufti di pesantren mengajar
dasar-dasar nahu dan sorof, hanya dalam beberapa tahun berbalik menjadi
orang-orang yang belajar di hadapan KH. Mufti.
Beberapa
tahun kemudian Kiayi Marsyad mengatakan: “Bukan
hanya bayong, wader-wader telah habis oleh Mufti”. Maksudnya begitu cepat
KH. Mufti dapat mempelajari berbagai imu dari Ki Marsyad. Selanjutnya Ki
Marsyad menganjurkan KH. Mufti untuk mencari pengalaman mengaji ke tempat lain.
Berbagai
pesantren di datangi KH. Mufti dalam pengelanaan ilmiyah fase ketiganya. Di
antaranya pesantren Kadukaweng Pandeglang, pesantren Buya Amin koper, Pesantren
sukabumi, laes dll.
PERNIKAHAN KH. MUFTI BIN ASNAWI
Sebagai
seorang santri yang sudah dikenal kejeniusannya, tentunya membuat sosok KH.
Mufti remaja menjadi incaran para orang tua yang berharap mempunyai menantu
santri yang kelak diharapkan menjadi kiayi. Di Singarajan sendiri sudah
terdengar khabar dari Cakung bahwa KH. Mufti akan dijadikan menantu oleh orang
Singarajan. Hal ini terdengar oleh Ki Astari Cakung. Akhirnya Ki Astari
mengutus orang untuk menemui ayah KH. Mufti agar segera menikahkan KH. Mufti
dengan gadis Cakung Srewu, “Kalau Mufti
menikah dengan gadis srewu, maka srewu akan menjadi gedong ilmu”. Demikian
kira-kira ucapan Ki Astari, seorang ulama yang telah masyhur dengan derajat
kewaliyan.
Akhirnya,
KH. Mufti dinikahkan dengan Hj. Jawariyah, putri seorang sesepuh Cakung Srewu.
Walaupun telah menikah KH. Mufti tidak menghentikan kehausannya akan ilmu
pengetahuan. KH. Mufti terus mesantren ke berbagai tempat untuk berguru kepada para
kiayi.
Hj. Jawariyah adalah sosok isteri
solihah yang mendampingi perjuangan KH. Mufti bin Asnawi dalam suka dan duka.
Pahit dan getir perjuangan Kiayi besar ini dalam mengasuh pesantren dan
membimbing umat selalu mendapat hiburan dan kasih sayang dari isterinya yang
tercinta. KH. Mufti bin Asnawi hanya beristeri dengan Hj. Jawariyah sampai
beliau yang mulia menghadap Al Rafiiq al
a’la.
MENDIRIKAN PESANTREN
Setelah
menikah, atas anjuran Ki Marsyad dan Ki astari akhirnya KH. Mufti mendirikan
pesantren di cakung srewu pada tahun 1962 pada umur yang sangat muda yaitu 27
tahun.
Pesantren
ini bermula bernama Pondok Pesantren Darul hikmah, kemudian menjadi pondok
Pesantren Darul Hikmah Cakung, kemudian atas impian dengan Syekh Ciliwulung,
pesantren ini bernama Pondok Pesantren Darul hikmah Ciliwulung. Beberapa tahun
nama pondok pesantren ini ditulis dengan nama Pondok pesantren Darul Hikmah
Ciliwulung sampai akhirnya beliau bermimpi dimarahi oleh Syekh ciliwulung untuk
menambah kata Syekh sebelum kata Ciliwulung. Akhirnya sampai sekarang Pondok
pesantren ini bernama PONDOK PESANTREN DARUL HIKMAH SYEKH CILIWULUNG (DHSC).
Pondok
Pesantren DHSC mengkader tunas pejuang ulama berbasis akhlak salafussolih dan
fiqh madzhab Syafi’I dan Aqidah ahli sunnah wal jamaah madzhab Abu Hasan
Al-Asy’ari serta tasawuf Alghazali dlsb.
Ramalan Ki
Astari yang mengatakan Cakung srewu akan menjadi Gedong ilmu menjadi kenyataan,
santri dari berbagai daerah datang untuk berguru ilmu agama kepada KH. Mufti
bin Asnawi.
Istiqomah yang sempurna untuk
mengajar para santri setelah mendirikan pesantren menjadikan nama KH. Mufti
semakin dikenal luas. Dalam usia yang sangat muda KH. Mufti Asnawi telah
dipercaya oleh Abuya Amin Koper untuk menjadi badal pengajian para kiayi di
masjid kresek yang dilaksanakan sejumat sekali setiap hari Selasa.
KH. Mufti muda juga telah menjadi
andalan Buya Amin untuk mencari matlab
fiqih dari berbagai macam kitab apabila ada permasalahan fiqh yang mesti di
selesaikan.
Pesantren DHSC terus berkembang mulai
hanya dari beberapa kobong bilik bambu hingga mendirikan madrasah MTs pada
tahun 1972 dan MA pada tahun 1993. Sedangkan MI telah berdiri sejak berdirinya
pondok pesantren tahun1962.
Seperti di pesantren salafiyah
umumnya, di pesantren DHSC juga terbentuk kelurahan santri DHSC yang mulai di
bentuk kepengurusannya tahun 1970. Lurah pertama pondok pesantren DHSC adalah
Drs. Memed Sumaidi dari Palembang yang berkhidmat mulai tahun 1970-1985,
sekarang beliau menjadi Dosen di sebuah universitas di Palembang, juga menjadi
da’i. Diteruskan oleh Mufid Dahlan, S.Pd.I
dari Talok yang berkhidmat sejak tahun 1985 sampai 1990, kemudian ia
dinikahkan dengan kemenakan KH. Mufti bin Asnawi. Diteruskan oleh Nawawi dari
pontang yang berkhidmat mulai tahun 1990 sampai 1992. Kemudian pada tahun 1992
lurah pondok di emban oleh Madaris dari Gembor, sekarang memimpin majlis dzikir
di Pasir Sadang Cikande.
Lalu disusul oleh H. Imaduddin
Utsman. Dari Cempaka Kresek Yang berkhidmat menjadi lurah pondok
mulai dari tahun 1996 sampai tahun 1997, sekarang mengasuh para santri di
Pesantrennya Nahdlatul ulum di cempaka. Kemudian tahun 1997 sampai tahun 2000
di emban oleh Muhtadi, S.Pd.I dari Koper, kini memimpin Yayasan nurul falah di
Koper cikande. Disusul oleh Mun’im Hari, S.Pd.I yang merupakan adik dari lurah
kedua Mufid Dahlan, hanya menjabat beberapa bulan pada tahun 2000. Kelurahan
kemudian dikhidmahkan kepada Jaelani dari Tamiang pada tahun 2000-2005. Dan
dari tahun 2005 sampai sekarang diemban oleh Zakariya.
KEILMUAN DAN KARANGAN
KH. Mufti
Asnawi adalah seorang al fardliy, yaitu
seorang yang mumpuni dalam ilmu faraid atau ilmu pembagian waris. Dalam masalah
ini, sering KH. Mufti menyelesaikan sengketa waris di tengah masyarakat. Bahkan
tak jarang terpaksa harus berbeda pendapat dengan kiayi lain.
Banyak kisah
perdebatan KH. Mufti dengan para kiayi dalam pembagian waris. Kecemerlangan
dalam ilmu nahwu membantu KH. Mufti dalam memahami ilmu waris dari berbagai
macam sumber kitab klasik. Sehingga kiayi yang hanya pandai dalam waris tapi
kurang dalam nahwu akan terjebak kedalam salah memahami teks kitab kuning. Maka
kemudin KH. Mufti menjadi rujukan utama masarakat sekitar Serang-Tangerang
dalam ilmu Faraid.
Dalam ilmu
Faraid KH. Mufti mengarang sebuah kitab yang merupakan syarah dari kitab matan
rahbiyyah. Kitab ini ditulis dengan tangannya sendiri dalam sebuah buku.
Kemudian sekitar tahun 2000 Mun’im Hari menulisnya dengan computer. Namun
sayang, dalam proses cetak kitab ini hilang. Dan sampai sekarang belum bisa
ditemukan.
Dalam ilmu
Nahwu, KH. Mufti mengarang kitab Amtsilatul
I’rab, yaitu berisi tentang cara memahami Gramer bahasa Arab dengan metode
pengenalan I’rab seluruh bab nahwu.
Kitab ini telah dicetak dan menjadi pegangan santri srewu.
Dalam
masalah-masalah fiqh, KH. Mufti begitu teliti dalam pengambilan matlab atau
maraji’. Beliau mengumpulkan masalah-masalah fiqh dalam sebuah catatan yang
tersusun rapih, kemudian beliau menyebutkan sumber kitab dan halamannya. Insya
Allah kitab ini akan dicetak agar bisa lebih bermanfaat untuk kaum muslimin.
KESAKSIAN-KESAKSIAN TENTANG KH. MUFTI ASNAWI
Kisah
kehidupan KH. Mufti bin Asnawi adalah kisah hidup yang penuh kesahajaan,
ketawadu’an dan kebijaksanaan. Ilmu yang begitu tabahhur tidak menjadikan KH. Mufti menganggap dirinya penting atau
gumede. Sangat biasa. Itulah kesan
yang bisa dikatakan orang yang pernah berjumpa dengannya. Bahkan cara
berpakaian dan gaya akhlak kadang kala tidak mengkesankan adanya jarak antara
beliau dengan siapa saja yang dihadapinya.
Orang bodoh
dan orang miskin tidak akan merasa direndahkan karena kebodohan dan
kemiskinannya bila sedang bicara dengan KH. Mufti karena sikapnya sama saja
dengan sikapnya kepada orang alim dan orang kaya. Penuh penghormatan.
Orang kaya
dan orang alim tidak akan merasa tidak dihormati oleh beliau karena memang
beliau tidak memusuhi orang kaya dan sangat mencintai orang alim.
Santri-santri
merasa sama rata mendapat perhatian cinta dan kasih sayang beliau. Beliau tidak
pernah menterjemahkan kasih sayang yang berlebihan kepada salah seorang
santrinya sehingga semuanya merasa menjadi orang yang paling diperhatikan dan
disayangi.
Bersamaan
dengan segala kesahajaan sikap hidup KH. Mufti ternyata banyak kesaksian
tentang kelebihan dan keistimewaan KH. Mufti.
Mufid Dahlan
mengisahkan tentang perjalanan KH. Mufti menuju undangan riungan bersama
jamaah. Ketika masih diperjalanan hujan turun. Untung tempat yang dituju telah
dekat. Setelah sampai di rumah sohibul hajat jamaah yang bersama KH. Mufti
menggerutu karena baju mereka kekucut.
Namun aneh baju KH. Mufti tetap kering.
Syamsul Muin
meriwayatkan tentang kejadian di depan pesantren. Ketika itu KH. Mufti sedang
santai duduk di depan pesantren. Tiba-tiba ada seekor burung yang terbang tepat
di atas KH. Mufti, kemudian burung itu terjatuh dan mati.
Muaayyad
menceritakan, ketika KH. Mufti mencari kunci untuk melepas sebuah baud yang
sukar dilepas kemudian ketika kunci tidak ada KH. Mufti melepasnya hanya dengan
jari telunjuk.
Mun’im Hari
mengkhabarkan, ketika ada seorang santri yang sedang duduk di bawah pohon
kelapa, KH. Mufti menyuruh santri itu untuk segera pindah. Setelah beberapa
saat santri itu pindah, ternyata pelepah kelapa itu jatuh tepat di tempat
santri itu duduk.
Almarhum H.
sukari mengkisahkan perjalannya ke Palembang bersama KH. Mufti ketika mendapat
undangan seorang Habib untuk menyelesaikan sebuah masalah Faraid. Pakaian KH.
Mufti begitu sederhana sedang H. Sukari berpakaian rapih seperti kiayi.
Kemudian Habib dan jamaah lainnya menyambut H. sukari dengan penuh penghormatan
karena dikira beliaulah yang bernama KH. Mufti. Sedangkan KH. Mufti sendiri tidak
diperdulikan.
Fahaduddin
menyebutkan, salah seorang santri ada yang memetik kelapa KH. Mufti tanpa ijin,
kemudian ketika bertemu dengan santri tersebut KH. Mufti mengatakan tolong jaga
kelapa ini agar jangan ada yang mencuri. Rupanya dengan tanpa ceplok batok KH.
Mufti mengetahui santri itu mencuri.
Tabrani
meriwayatkan, motor keluarga KH. Mufti hilang. Kemudian salah seorang anaknya
mencari info kemana-mana untuk menemukan motor tersebut. Selain menghubungi
para jawara yang dikenal juga mendatangi ahli hikmah yang bisa melihat motor
itu secara gaib. Namun hasilnya tetap nihil. Kemudian salah seorang anak
perempuannya merayu KH. Mufti untuk menemukan solusi. Awalnyap KH. Mufti
menolak dan menganjurkan anaknya tawakal. Tapi karena anaknya ini terus merayu
setengah memaksa kemudian KH. Mufti mengambil kertas dan mengusap dengan
tangannya lalu gambar orang yang mencuri itu kelihatan. Karena pencuri itu
dikenal maka KH. Mufti memerintahkan untuk merahasiakan kepada siapapun.
Muayyad
mengkisahkan, ketika santri DHSC berkemah disuatu tempat yang angker, beberapa
santri melihat KH. Mufti berjalan mengelilingi tempat santri berkemah di tengah
malam. Padahal KH. Mufti tidak ikut pergi waktu siang. KH. Mufti adalah guru
yang sangat memperhatikan muridnya sehingga setiap ada kegiatan di luar
pesantren KH. Mufti selalu ikut di hari pertama kemudian setelah semuanya
dirasa beres KH. Mufti pulang. Tapi dalam kemah kali ini KH. Mufti tidak ikut.
Maka santri heran melihat KH. Mufti tengah malam mengelilingi tempat kemah. Karena
KH. Mufti tidak menghampiri ke kemah para santri yang melihat tidak berani
menegur dan hanya memperhatikan dari kejauhan. Ternyata setelah kemah selesai
mendapat berita bahwa sama sekali KH. Mufti tidak meninggalkan pesantren
beberapa hari ini. Hal itu mudah diketahui karena bila bepergian KH. Mufti
selalu mengajak salah seorang santri atau menantunya. Rupanya malam itu ada hal
yang menghawatirkan para santri sehingga KH. Mufti harus datang ke tempat
perkemahan dengan cara aneh.
Cerita
mutawatir tentang pohon ambon di komplek kramat Syeh Ciliwulung juga sampai
kepada penulis. Ada sebuah pohon ambon angker yang sangat tua dan besar tidak
ada orang yang berani merubuhkannya karena ada cerita turun-temurun bahwa siapa
yang berani merubuhkannya akan terkena bencana. Padahal adanya pohon itu
setidaknya membuat pejalan kaki takut untuk lewat di tengah malam. Namun KH.
Mufti kemudian berani untuk menebas pohon itu dan Alhamdulillah tidak terjadi
apa-apa.
Posisi
Cakung Srewu bersebrangan dengan Cakung Gandawati, banyak aktifitas KH. Mufti
di daerah seberang. Sebelum ada jembatan bila hendak menyebrang harus
menggunakan perahu. Tak jarang KH. Mufti pulang tengah malam dalam keadaan Mang
las (tukang perahu) sudah pulang ke rumah.
Seorang
santri pernah menemani KH. Mufti pada suatu acara di sebrang. Pulang tengah
malam. Di gewori , mang las tidak
menyahut. Berarti mang las sudah pulang ke rumah. KH. Mufti mengajak santri itu
tidur di Musola Bojong. Ketika santri itu ngeliyep, ia melihat KH. Mufti keluar
musolla. Santri itu memperhatikan KH. Mufti yang berjalan menuju kali, dan,
Subhanallah, KH. Mufti berajalan di atas air menuju seberang.
Santri lain
dengan kejadian hamper mirip menyaksikan KH. Mufti memanggil perahu yang
terkunci. Kemudian perahu yang tanpa orang itu menyebrang menuju KH. Mufti dan
kemudian membawanya ke Srewu.
Penulis
pernah silaturahmi dengan seorang kiayi yang sangat tua di Serang, beliau
seangkatan dengan Kiayi Astari. Beliau menceritakan bahwa dulu beliau dihubungi
oleh Ki Astari untuk datang di malam jum’at ke Cakung untuk dikasih jubah
hitam. Setelah beliau sampai di rumah ki
Astari ada seorang pemuda di hadapan Ki Astari. Rupanya pemuda itu adalah KH.
Mufti muda. Setelah beliau duduk, Ki Astari mengambil jubah hitam. Namun,
ternyata jubah hitam itu tidak diberikan kepada beliau tapi diberikan kepada
pemuda itu yang tak lain adalah KH. Mufti.
Masih banyak
lagi kisah-kisah yang penulis catat dari masyarakat yang menyaksikan
keistimewaan KH. Mufti Asnawi, namun buku kecil ini terbatas tempat dan waktu.
Insya Allah dalam kesempatan lain penulis akan menulis buku lagi untuk
kelengkapan kisah KH. Mufti bin Asnawi.
WAFATNYA KH. MUFTI ASNAWI
Akhirnya
hari Sabtu 4 Syawal 1432 h. bertepatan dengan tanggal 3 september jam 09:50
pagi manusia mulia ini menghadap al-Rafiiq al A’la di dalam lingkungan Pondok
pesantrennya dalam usia 76 tahun.
Mungkin, keinginan kuat Abah untuk segera pulang dari Rumah Sakit ke Pesantren adalah karena
Abah telah mengetahui bahwa dirinya akan segera menghadap Allah dan Abah tidak
ingin menghadap Allah jauh dari pesantren dan para santri sesuai dengan doa: Watawaffanaa ma’al abraar . Banten
kehilangan satu lagi putra terbaiknya.
KO ARTIKELNYA MASIH KOSONG.....???????
BalasHapusAss...Mohon Maaf, Ust Artikelnya Saya Copas di darulhikmahonyam.blogspot.com...semoga jadi lebih bermanfaat...
BalasHapus