Kamis, 22 Maret 2012


SYEIKH NAWAWI ALBANTANI
Mengabdikan hidup Untuk  Pendidikan

Oleh
Imaduddin utsman, MA


                Syeikh Nawawi al Bantani bukanlah nama asing di ranah keilmuan Islam di nusantara, khususnya di dunia pesantren dan perguruan tinggi Islam. Karangan-karangannya menjadi rujukan dan bahan kajian keislaman. Puluhan karyanya  menjadi buku wajib di banyak pesantren di Indonesia, Malaysia, Brunei, Pilipina Selatan dan Tailand selatan. Kitabnya yang paling terkenal adalah tafsir Maroh Labiid atau yang lebih dikenal dengan tafsir munir.
Berbagai pemikirannya dalam bidang fikih, teologi, tafsir dan tasawuf menjadi bahan penelitian dalam skripsi, tesis dan desertasi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Seperti di universitas Mc Gill, Kanada, pemikiran tasawuf Syeikh Nawawi  menjadi sebuah judul tesis oleh seorang mahasiswa pascasarjana di sana.
            Syeikh Nawawi adalah putra Indonesia yang menjadi ulama dunia yang fenomenal yang memiliki lebih dari seratus karya popular. Keilmuannya yang paripurna dari berbagai disiplin keilmuan menjadikannya mendapat gelar dari ulama-ulama sejamannya di syarq al awsath (timur tengah) dengan  “sayyidu ulama’I al hijaz” (penghulu para ulama di negeri Hijaz).

Mengenal Syeikh Nawawi Al Bantani

            Syeikh Nawawi al Bantani bernama lengkap Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani al Jawi. Nasabnya bersambung dengan rasulullah, Muhammad SAW, melalui Maulana Hasanuddin, sultan Banten pertama. Lahir pada tahun 1813 M di perbatasan antara Serang dan Tangerang tepatnya di Tanara, serang,  Banten. Bertepatan dengan jaman awal keruntuhan kesultanan Banten.
            Ayahnya, Umar bin Arobi, adalah seorang ulama di kampungnya. Nawawi belajar pertama kali tentang keilmuan keislaman dasar dari sang ayah. Setelah itu ayahnya menitipkannya kepada kiayi Syarif atau yang lebih dikenal dengan ki Ayif di Cakung, kresek (sekarang dipekarkan menjadi kecamatan Gunung Kaler). Kemudian belajar di Kota serang kepada Kiayi Sahal, seorang ulama wara’ keturunan Syeikh Ciliwulung,  pendamping Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Banten utara.
            Masa kecil Nawawi dipengaruhi oleh masa perjuangan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah yang secara sporadic terjadi di berbagai wilayah di Banten. . Baik terhadap Belanda maupun terhadap pemerintahan boneka kesultanan Banten yang pada waktu itu telah berada secara de facto di bawah Belanda. 
            Setelah beranjak remaja, Nawawi bermaksud bergabung bersama kerabatnya dalam barisan askar perlawanan, namun ayahnya segera membuangnya ke Purwakarta untuk berguru kepada Syeikh Yusuf. Agaknya ayahnya telah menyadari bakat Nawawi dalam ilmu pengetahuan sehingga sengaja ayahnya menjauhkan Nawawi dari berbagai kejadian di Banten. Padahal saudara dan karib keluarga Nawawi banyak yang terjun dalam barisan perlawanan.
Setelah beberapa waktu di Purwakarta,  nawawi di berangkatkan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di sana. Di Makkah Nawawi berguru kepada Syeikh Sayyid Ahmad al Nahrawi, pengarang kitab al durr al fariid, tentang ilmu teologi. Selain kepada al Nahrawi, Nawawi juga belajar kepada Syeikh Sayyid Ahmad al dimyathi, pengarang kitab syarh al waraqaath, mengenai ilmu ushul fiqh, juga kepada Syeikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, pengarang kitab mukhtashar jiddan, tentang ilmu gramatika arab.
            Selain di Makkah, Nawawi juga menuntut ilmu ke Madinah, Mesir dan Syam (Suriah, Libanon, yordania dan palestina). Di Madinah Nawawi belajar ilmu hadits musalsal kepada Syeikh Muhammad khathib Duma al Hanbali.
Pada tahun 1833 Nawawi mendengar berita dari para haji yang berangkat dari Banten ke Makkah bahwa keadaan di Banten semakin tidak menentu. Sulthan Rafiuddin, yang menjadi sulthan di bawah bayang-bayang belanda bahkan kini telah disingkirkan Belanda dan di buang ke Surabaya. Pejuang-pejuang Banten yang dulu sebagian masih menahan diri memberontak kepada sulthan karena alasan bahwa bagaimanapun sulthan Rafiuddin adalah keturunan Maulana Hasanuddin, kini setelah Sultan Rafiuddin disingkirkan merekapun bergabung bersama askar yang sejak tahun 1808 (masa dihancurkan dan dibakarnya kraton Surasowan) memberontak terhadap pemerintah.
Berita itu membawa jiwa muda Nawawi tidak tenang. Kemudian ia memutuskan pulang ke Banten.   Malu bagi Nawawi berada dalam ketenangan dan kedamaian di Makkah sementara tanah airnya berada dalam suasana kekacauan.
Ketika telah sampai di Banten, Nawawi harus kembali menghadapi cegahan sang  ayah untuk ikut berperang. Sang ayah mnganjurkan Nawawi selalu berfokus terhadap ilmu pengetahuan. Menurut sang ayah, tidak semestinya semua putra Banten harus terjun ke medan perang, justru harus ada mereka yang mau menekuni ilmu pengetahuan. Kemudian sang ayah memerintahkan Nawawi untuk pergi ke Karawang untuk berguru kepada Syeikh Quro.
Sekitar tujuh belas tahun Nawawi berada di tanah air. Setelah beberapa tahun berguru kepada Syeikh Quro, Nawawi membantu ayahnya mengajar di pesantren untuk kemudian ia memutuskan kembali ke Makkah pada tahun 1850. Sesampainya di Makkah Nawawi kembali menghabiskan waktunya untuk belajar, mengajar dan menulis buku. Ratusan santri yang datang dari berbagai Negara belajar kepada Syeikh Nawawi, diantaranya dari Indonesia seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Raden Asnawi Caringin, KH. Kholil Bangkalan, KH. Asnawi Kudus, Syeikh Muhammad Zainuddin bin badawi As- Sumbawi, Syekh Abdussattar bin Abdul Wahhab as-Sidqi Al-Makky dan lain-lain. Syekh Nawawi wafat di Makkah pada tahun 1897 dalam usia 84 tahun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar