Kamis, 22 Maret 2012

JAWARA BANTEN


JAWARA BANTEN
DAN
DEMOKRASI KONTEKSTUAL[أ‌]

                                                    Oleh:
 Imaduddin Utsman, MA.[ب‌]

Pendahuluan
            Runtuhnya rezim Suharto tahun 98 membawa angin segar bagi upaya membangun Negara Indonesia yang demokratis. Negara-bangsa yang menghormati hak-hak warga negara, baik hak-hak sipil (civil citizenship), hak-hak politik (political citizenship) maupun hak-hak sosial dan ekonomi (social & economic citizenship). Namun lazimnya negara yang berada pada masa transisi demokrasi, proses demokratisasi di Indonesia masih menyisakan masalah-masalah. Transisi demokrasi di mana-mana menghasilkan proses formasi baru kelembagaan politik yang berpusar pada usaha sistematis yang bersifat terbuka untuk mengatur kembali hubungan antara lembaga negara, masyarakat (civil socity), Negara (state) dan elit.[1] Tak jarang proses formasi baru ini bermuara kepada terjadinya benturan sosiologis-psikologis akibat telah terpatri dan mengkristalnya nilai-nilai yang tidak demokratis yang diwariskan rezim Orba selama 32 tahun. Belum lagi euvoria demokrasi yang berlebihan yang telah lama membuncah akibat tekanan rezim yang otoriter.
            Masalah juga terjadi ketika identitas-identitas kultur lokal dan idelogis-religious yang selama ini tenggelam (baca: berusaha untuk ditenggelamkan rezim), kecuali, mungkin, identitas kejawen, berusaha untuk muncul kepermukaan dan mewarnai proses demokratisasi yang berjalan. Kearifan lokal sebenarnya bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi demokrasi, karena selain demokrasi memiliki nilai-nilai yang universal seperti kesamaan di depan hukum, hak menentukan diri sendiri, hak menyatakan pendapat dan lain-lain, demokrasi juga mengakomodir idiom-idiom dan ekspresi-ekspresi lokal yang membuat nilai-nilai besar dan umum itu dapat difahami dan dihayati secara konkret dalam suatu konteks yang khusus. Inilah yang kita fahami sebagai konsepsi demokrasi kontekstual (Contextual democracy). Masalah akan muncul ketika atas nama demokrasi identitas-identitas ini menggunakan praktik-praktik yang tidak demokratis untuk mencapai tujuan.
            Salah satu identitas lokal yang muncul pada masa reformasi adalah kelompok kaum jawara (Sunda. Jawa, juwara atau jwara) yang merupakan sub-kultur dari masyarakat Banten. Berbagai organisasi yang menghimpun kaum jawara muncul pasca lengsengnya Suharto, baik yang berkedudukan di wilayah Banten unsich, maupun yang merambah daerah lain di Indonesia.
            Tulisan ini tidak akan spesifik membahas organisasi kaum jawara dan eksistensinya saat ini, tapi lebih akan membahas bagaimana sub-kultur jawara bisa muncul di Banten dan bagaimana jawara  di tempatkan sebagai individu yang karena sifat-sifatnya diakui oleh masyarakat sebagai jawara. Bukan karena dia berada di organisasi jawara kemudian langsung menyebut dia sebagai jawara. Kemudian dari pengakuan karena sifat-sifat ini ditakar dengan nilai-nilai demokrasi yang universal.

Sejarah Jawara Sebagai Sub-kultur Masyarakat Banten
             Pakar sejarah, Djajadiningrat, menyatakan bahwa Belanda pertama kali datang ke nusantara melalui pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596. Dengan dipimpin oleh Cornelis de Houtman, empat buah kapal berlabuh di pelabuhan Banten dengan tugas utamanya mencari rempah-rempah dan membawa komoditas perdagangan itu ke negerinya.[2] Namun pada perkembangannya keberadaan Belanda di Banten  tidak hanya untuk membeli rempah-rempah, mereka juga mengganggu jalur perdagangan laut antara Banten dan daerah lain. Pada suatu malam orang-orang Belanda merompak kapal dagang dari Mataram sehingga membuat Mangkubumi Jayanegara (Perdana menteri) marah dan menangkap pimpinan mereka Cornelis de Houtman. Setelah di penjara selama hampir sebulan akhirnya Cornelis dilepaskan dengan tebusan 45.000 Golden kemudian diusir dari Banten pada tanggal 02 Oktober 1596.[3]
Rombongan Belanda kedua datang pada tanggal 28 Nopember 1598 di bawah pimpinan Jacob van Neck, tidak untuk mengulangi nasib yang sama seperti Cornelis de Houtman, Jacob datang dengan santun dan bermartabat sebagai seorang pedagang. Bahkan ia datang sowan ke Sultan dengan membawa bermacam-macam hadiyah[4]. Lambat laun watak penjajah orang-orang Belanda muncul. Dengan kekuatan yang semakin besar pasukan Belanda pelan-pelan berusaha untuk menguasai dan memonopoli perdagangan di Banten dengan berkedudukan di Batavia. Maka muncullah pertentangan-pertentangan yang kemudian menjadi peperangan-peperangan. Ketegangan dan peperangan antara kesultanan Banten dan Belanda terjadi sampai keruntuhan kesultanan Banten pada awal abad 20.
Setelah kesultanan Banten runtuh, perlawanan terhadap Belanda tidak berhenti, dilanjutkan oleh para kiayi dan pengikutnya. Memang otoritas kepemimpinan masyarakat Banten semenjak awal berdirinya kesultanan tidak lepas dari kepemimpinan ulama. Sultan pada kesultanan Banten selain sebagai pimpinan negara dan pemerintahan ia juga sekaligus sebagai ulama. Bahkan sultan pertama dan kedua Banten tidak menggunakan gelar sultan tapi menggunakan istilah maulana, sebuah istilah keagamaan untuk seseorang yang memiliki ilmu makrifat yang dikenal dalam tradisi tasawwuf. Gelar sultan dipakai hanya untuk menghormati pemberian gelar yang diberikan pemimpin Negara Arab. Penghormatan rakyat terhadap sultannya tidak lebih sebagaimana layaknya penghormatan terhadap ulama. Jadi jangan dibayangkan dulu rakyat Banten  datang menghadap sultannya dengan berjalan lutut di pendopo atau bersujud memohon ampunan baginda, sama sekali hal itu tidak terjadi. Egaliter adalah salah satu ciri masyarakat Banten. Semakin tinggi religiousitas seorang sultan, semakin tinggi pula kharisma dan kecintaan dan kesetiaan yang ditunjukan rakyatnya.
Tidak heran jika sejarah mencatat, ketika seorang sultan berada di luar batas-batas norma agama atau etika budaya masyarakat, rakyat bergerak untuk melengserkan sultan. Hal ini pernah terjadi ketika pada tahun 1750 Kiayi Tapa dan Tubagus Buang menggerakan rakyat untuk melengserkan Sultan Syarif yang baru diangkat sebagai sultan dengan dukungan penuh VOC Belanda. Yang pada akhirnya pemberontakan itu memaksa Sultan Syarif yang dianggap rakyat sebagai antek penjajah kafir turun tahta.[5]
Milisi sipil yang digerakan ulama terus bermunculan ketika Belanda telah benar-benar menjajah Banten pasca runtuhnya kesultanan tahun 1808. Dengan semangat jihad, semangat anti kafir bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme rakyat Banten mengadakan perlawanan melawan penjajah Belanda.[6] Darah panas rakyat Banten yang selama ini terpendam oleh keindahan Islam-sufi membuncah dan tersalurkan dengan berperang membela negeri dan agama. Mereka yang mengikuti seruan ulama dan berdiri di garis depan dalam perlawanan melawan penjajah inilah cikal-bakal munculnya sub-kultur baru dalam masyarakat Banten yang kemudian dikenal dengan sub-kultur jawara.
Tercatat dalam sejarah bagaimana gigihnya jawara-jawara Banten dalam melawan Belanda. Pada tahun 1809 terjadi perlawanan "Bajaklaut" yang dipimpin para jawara dalam menentang pembangunan pangkalan militer penjajah di Ujung Kulon. Kang Nuriman, Kiayi-jawara dari Pasir Peuteuy Pandeglang, mengadakan pemberontakan untuk memaksa Belanda  mengangkat kembali seorang sultan. Pada tahun 1811, Mas Jakaria, jawara Banten dari selatan, Melakukan perlawanan terhadap Belanda dan berhasil menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Namun, beberapa bulan kemudian ia berhasil ditangkap Belanda kemudian dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal kepalanya dan dibakar.[7]
Setelah terbunuhnya Jawara Banten dari selatan, hampir setiap tahun terjadi kerusuhan di Banten yang dipimpin para kiayi dan jawara. Misalnya perlawanan yang dipimpin oleh Ki Adam, Ki yamin, Ki Utu, Ki Ikrom. Pada tahun 1815 pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Kang Nuriman mengepung Pandeglang. Pada tahun 1818 dan awal tahun 1819, Haji Tasin, Mas Haji, dan Mas Raka memimpin perlawanan di Lebak dan membunuh orang-orang pribumi yang menjadi antek dan pegawai pamongpraja Belanda. Selanjutnya pada tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Arya dan para ulama. Khusus pada tahun 1836 terjadi perlawanan yang dipimpin seorang perempuan bernama Nyimas Gamparan di Balaraja yang kemudian dapat dipatahkan oleh demang R. Kartanagara yang kemudian atas jasanya menangkap Nyimas Gamparan ia diangkat oleh Belanda menjadi bupati Lebak.[8]
Mas Jabeng, putra jawara Banten dari selatan, Mas Jakariya, pada tahun 1839 mengadakan perlawanan bersama Ratubagus Ali dan Pangeran Qadli, namun dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan Bupati Serang waktu itu.
Di Serang terjadi pemberontakan yang dipimpin kiayi Kharismatik yang bernama Ki Wakhiya, selama enam tahun bersama pendamping setianya yaitu Tubagus Ishak, Mas Diad, Mas Berik dan Nasyid mengobarkan semangat perang sabil melawan pemerintah kolonial. Namun akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada tahun 1856. Pada tanggal 13 Desember tahun 1845 terjadi penyerbuan para petani di Cikande terhadap para tuan tanah yang digerakan oleh keturunan jawara Banten dari selatan, Mas Jakariya. Akibat serbuan itu seorang tuan tanah PJ. Kampuys beserta isteri dan kelima anaknya terbunuh, ikut juga beberapa orang eropa yang terbunuh seperti Pes Viering beserta isteri dan empat anaknya, dan Wanbert de Puiseau. Akhirnya dengan tambahan pasukan dari Batavia, pemberontakan ini dapat di hancurkan, sebanyak 384 orang ditangkap, sedangkan yang lainnya dapat meloloskan diri ke daerah sekitar.[9] Di antara yang berhasil meloloskan diri tersebutlah nama Ki Buyut Pasar, seorang jawara sakti yang berambut panjang yang melarikan diri ke kresek kemudian menetap dan berketurunan di kampung Talok. Kuburannya sekarang sering diziarahi orang.
Di Ciomas, Arpan dan gerombolannya membunuh camat Ciomas pada tanggal 22 februari 1886. Idris dan pasukannya membunuh 40 pegawai Belanda pada tanggal 20 Mei 1886.[10] Peristiwa ini disesalkan sejarah karena yang menjadi korban mayoritas adalah warga pribumi.
Pada tahun 1888 terjadi peristiwa "Geger Cilegon". Yaitu sebuah pemberontakan yang dipimpin kiayi-kiayi tarekat dari Banten pesisir utara. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Syeikh Abdul Karim dari Tanara, seorang penyebar tarikat Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang juga sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, diikuti oleh murid-muridnya seperti Ki Syadeli dari Kaloran Serang, Ki Asnawi dari Lampuyang Tirtayasa, Ki Abubakar dari Pontang, Ki Tb. Ismail dari Gulacir, Ki Wasid dari Beji  dan Ki Marzuki dari Tanara. Sebagai panglima oprasi ditunjuklah Ki Wasid dan Tb. Ismail. Pemberontakan ini berhasil membunuh orang-orang  Belanda di cilegon termasuk asisten residen Gubbels.[11]
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa pemberontakan masyarakat Banten yang digerakan oleh para ulama dan jawara, seperti pemberontakan yang terjadi pada tanggal 13 Nopember 1926 yang dipimpin Kiayi Agung Asnawi dan menantunya KH. Tb. Ahmad Khatib yang kelak menjadi residen Banten pasca kemerdekaan.[12]
Melihat alur perjalanan masyarakat Banten yang diterpa berbagai macam pergolakan, maka sangatlah logis bila kultur masyarakat Banten untuk kemudian waktu masih dipengaruhi semangat itu. Namun relative minimnya tekanan pasca kemerdekaan membuat semangat itu tidak tersalurkan. Tercatat pasca kemerdekaan hanya satu kali terjadi pemberontakan, yaitu yang digerakan oleh Ce Mamat pada bulan Oktober 1945 yang menuntut residen Banten KH. Ahmad Khotib untuk memberhentikan para priyayi yang dulu bekerja untuk Belanda dan jepang.[13]
Para  pejuang yang terjun dalam berbagai aksi pergerakan itu kemudian mewariskan jiwa dan semangat pergerakan pada turunan mereka. Para turunan inilah yamg kemudian bermetamorfosis menjadi sub-kultur khas di banten yang di kenal dengan nama Jawara atau juwara yang bermakna sederhana "orang yang memiliki kelebihan" atau "orang yang  menang" atau pemenang. Sebuah ungkapan untuk orang-orang yang memiliki kelebihan dalam keberanian dan kepedulian pembelaan terhadap orang lain. Adapun pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa jawara berderivasi dari kalimat Bahasa Arab "jawhara" yang berarti  "intan" kurang bisa dipertanggung-jawabkan, karena makna "jawhara" sama sekali tidak dipakai dalam gaya bahasa arab untuk mengungkapkan keunggulan, ia lebih dipakai untuk sebuah kata benda dan kadang digunakan sebagai majaz untuk mengungkapkan keindahan. Sama tidak berdasarnya dengan pendapat yang mengatakan bahwa jawara adalah singkatan dari  "jalma wani rampok" yang berarti orang yang berani merampok, atau "jalma wani rahul" yang berarti orang yang berani gegabah. Pendapat ini bisa dibantah oleh kenyataan tidak lazimnya penamaan berdasarkan singkatan dalam masyarakat Banten pada waktu munculnya istilah jawara.


Makna Jawara dalam Dilema
            Dalam tata bahasa Jawa di Banten dikenal istilah "bergajul" yaitu ungkapan untuk orang yang melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Para perampok, maling, orang yang suka meresahkan, sok jagoan dan pengangguran yang berkeliaran mereka ini di sebut orang-orang bergajul. Namun belakangan oran-orang yang memiliki sifat-sifat seperti di atas kadang-kadang juga disebut jawara.
            Penulis pada suatu kesempatan bertemu dalam sebuah acara di Petir dengan Tb. Triayana Syam'un, mantan Ketua Umum Pengurus Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten, ia mengungkapkan bahwa yang dinamakan jawara  sekarang adalah sosok seperti Buya Dimyati Cadasari dan Abah Bustomi Cisantri. Penulis tidak mengetahui criteria apa yang menjadi takaran Triayana sehingga menyebut dua sosok kiayi paling kharismatik di Banten itu sebagai Jawara. Yang jelas di tempat penulis (Kresek) kadang-kadang ada mantan perampok yang juga disebut jawara. Guru pencak silat Paku Banten juga disebut jawara. Seorang pedagang di pasar sabtu di Kresek yang menolak relokasi kemudian ia disebut pedagang jawara. Seorang yang yang dirampok kemudian dapat melumpuhkan perampok disebut jawara, sementara perampoknya juga dikenal sebagai jawara. Bila ungkapan atau penamaan jawara sampai kepada orang yang diletakan nama jawara itu kepadanya, semuanya menerima dan tidak keberatan disebut sebagai jawara.
            Maka makna jawara berada dalam dilemma. Siapakah sesungguhnya jawara itu?
            Untuk mendapat jawaban itu memerlukan kajian teoritis-historis yang komprehensip. Tulisan singkat ini tidak mungkin dapat menjadi referensi memuaskan untuk kajian itu. Namun dilihat dari kenyataan diterimanaya istilah dan penyebutan jawara bila diberikan kepada individu dari berbagai posisi social di Banten, penulis bisa memberikan jalan pada pembaca untuk mengenal sifat dan criteria jawara yang diidamkan oleh yang mengemban nama itu, dengan menarik sifat-sifat yang khas dan positif dari berbagai posisi social yang disebutkan di atas.
            Pertama, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat-sifat ideal dan positif kiayi, seperti rajin ibadah, tawaddu', keikhlasan, kesabaran, kebijaksanaan, keilmuan, qona'ah (menerima nikmat dengan bersyukur), membimbing,  dsb.
            Kedua, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat ideal guru silat seperti kedigjayaan, penguasaan terhadap kanuragan dan mau mengajarkan kemampuan terhadap orang lain.
            Ketiga, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat-sifat ideal pejuang pergerakan (termasuk orang-orang yang berani melawan arus demi membela kepentingan haknya dan orang lain) seperti keberanian, rela berkorban, membela tanah air dan agama, tabah menghadapi konsekwensi dari sebuah perjuangan.
            Keempat, sifat-sifat jawara yang diambil dari bergajul, perampok dsb. seperti ketegasan sikap, keberanian bergerak, telenges (berani mengambil sikap kasar jika diperlukan), setia kawan dsb.
            Dari sifat-sifat ideal itu kita dapat mengurutkan tingkatan jawara berdasarkan kelengkapan seorang jawara akan sifat-sifat tersebut, sebagai berikut:
  1. Jawara Brahmana, yaitu jawara utama yang memiliki ilmu para ulama keberanian para ksatria, kedigdayaan para guru silat, yang rela berkorban demi kepentingan rakyat, Negara, dan agama. Ia akan berada di baris depan dalam membela kepentingan rakyat untuk mendapatkan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan. Untuk terwujudnya hal itu ia berani bersikap telenges terhadap orang-orang yang membuat rakyat menderita.
  2. Jawara Ksatria, yaitu jawara yang memiliki semua sifat-sifat jawara brahma kecuali keilmuan  ulama.
  3. Jawara Syudra, yaitu jawara yang memiliki keberanian bergajul, ilmu silat para guru silat, tapi hanya mencari keuntungan pribadi tanpa mau peduli dengan kepentingan rakyat, negara dan agama.
  4. Jawara Cidra, yaitu jawara yang hanya punya keberanian mengancam, tidak memiliki ilmu silat, sok jagoan dan meresahkan masyarakat.

Jawara  Dalam Konteks Demokrasi kontekstual di Banten
Dalam sub-judul ini istilah jawara yang dimaksud adalah jawara yang tergolong dalam kategori jawara brahmana dan jawara ksatria, karena agaknya dua golongan jawara inilah yang dimaksud dalam suasana kebatinan masyarakat Banten dalam memahami istilah jawara. Dalam konteks demokrasi kontekstual terdapat nilai-nilai universal yang akan penulis coba takar dengan sifat perjuangan dari kedua jenis jawara ini untuk kemudian diurut benang merah keduanya untuk mendapatkan sebuah persamaan sikap dalam konteks pemahaman peran masyarakat dalam demokrasi.
Demokrasi kontekstual adalah pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah nilai yang bersifat universal. Walaupun demikian, terdapat kesempatan untuk melakukan kontekstualisasi demokrasi melalui penyertaan cirri-ciri lokal, bahkan partikular, untuk pengembangan demokrasi. Persyaratan pengintegrasian nilai-nilai particular dan lokal diletakan pada kepercayaan  bahwa yang disebut terakhir ini tidak mengurangi esensi nilai universal demokrasi. Dengan kata lain, pengintegrasian nilai particular dan lokal harus memperkuat nilai universal dari demokrasi.[14]
Jawara sebagai sub-kultur masyarakat Banten yang menjadi penggerak dari berbagai macam perubahan social sejak dulu mempunyai nilai strategis-historis untuk membawa masyarakat Banten lebih demokratis.
Watak egaliter yang dimiliki masyarakat Banten bergaris lurus dengan nilai universal demokrasi yakni persamaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-judul sebelumnya bahwa walaupun Banten pernah mengalami masa jaya sebuah kekuasaan monarki, namun hubungan antara sultan sebagai penguasa dan rakyat yang dikuasai tergambar tidak seperti yang terjadi di pemerintahan monarki yang lain. Rakyat Banten memandang sultan sebagai lambang dari kedaulatan yang mereka miliki, dan mewakili mereka dalam menjalankan pekerjaan politik. Bila penyelenggara ini tidak senada dengan keinginan luhur mereka maka tak segan mereka menyatakan pendapat bahkan memberontak.
Perjuangan para jawara dalam membebaskan rakyat dari penjajahan dan penindasan bergaris lurus dengan nilai-nilai universal demokrasi yakni kemerdekaan warga dan keadilan.
Sementara perlawanan para petani  yang digerakan oleh para jawara di tanah partikelir Cikande Udik adalah sebuah tuntutan kesejahteraan masyarakat yang nilai ini juga diperjuangkan oleh demokrasi.
Substansi demokrasi nampaknya telah tersedia dan berjalan dalam kehidupan social masyarakat Banten. Namun prosedur demokrasi masih memiliki masalah tentang apakah prosedur itu telah betul-betul menjamin bahwa demokrasi itu dari rakyat oleh rakyat atau belum. Dan apakah para pemimpin itu telah memiliki syarat pemimpin yang demokratis, yaitu kompetensi dan integritas selain konstituensi.Wallahu a'lam


           


             



[أ‌] Makalah Untuk Diskusi Publik yang diselenggaraka oleh Sekolah Demokrasi Indonesia Kabupaten Tangerang, di Gedung Korpri Kota Tangerang, Sabtu, 23 Mei 2009
[ب‌] Peserta Sekolah Demokrasi Indonesia Kab. Tangerang angkatan III


[1] Danil Sparringa, Respon elit politik Terhadap Transisi Demokrasi, dalam, Konsepsi Demokrasi, seri simpul demokrasi, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)(Jakarta: KID, 2009). h 46
[2] Djajadiningrat, Critische Beschowing Van de Sadjarah Banten (Leiden: Jhon Enschede en Zenen, 1937) h. 171
[3] Halwani Michraob dan Mujahid Hudari, Catatan Masalalu Banten, (Serang: Saudara, 1993). h. 96
[4] Djajadiningrat, Op.cit, h.169
[5] Ekadjati, Kesultanan Banten Dan hubungannya dengan Wilayah Luar, dalam Banten kota Pelabuhan Jalan Sutra (Jakarta: Depdikbud, 1990) h. 88  
[6]  Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah (Jakarta: LP3ES, 2003) h.99
[7] Halwani Michrab & Mujahid Hudari, Opcit, h.186
[8]  Nina Lubis, Op.cit, h.102
[9]  Nina Lubis, Op.cit, h. 104
[10] Kartodirjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia  (Yogyakarta: Aditya media, 1991)h.26
[11]  Nina Lubis, Op.cit, h.112
[12]  Nina Lubis, Op.cit, h. 142
[13] Lihat Suharto, Banten dalam Masa Revolusi (Bandung: setya Historika, 2000) h.114
[14]  Danil Sparrina, Op.cit, h.47

SYEKH MUHAMMAD AMIN KOPER


13363_101459816546825_100000484200547_40896_4533366_s




SYEKH MUHAMMAD AMIN AL-BANTANI
(BUYA AMIN KOPER)




oleh:
H. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.

MUQADDIMAH
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام علي سيد الاولين والاخرين، محمد خاتم الانبياء والمرسلين، أما بعد:
Maka inilah sebuah buku sederhana yang dapat penulis persembahkan kepada pembaca mengenai sekilas riwayat hidup dari Syekh Muhammad Amin bin Abdullah.
Buku ini diambil intisarinya dari buku yang dipersembahkan dalam haul Buya Amin ke-9 tahun 2003. Hanya sedikit ada penambahan di sana-sini. Terutama ketika menulis tentang silsilah, penulis langsung menemui pemegang buku silsilah dari para keturunan Syekh ciliwulung dan Syekh Hasan Bashri Cakung yang dipegang secara turun temurun  oleh keturunan Syekh Ma’mun bin Muhammad Ali Al-Madinah.
Perjuangan Syekh Muhammad Amin telah mengawal masyarakat Kresek dan sekitarnya khususnya dan Banten umumnya juga sekitar Banten menjadi masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalankan ibadah.
Tegur sapa dari pembaca sangat kami harapkan bagi perbaiakan cetakan berikutnya.
1 Rabiul awal 1433 H/25 Januari 2012
Penulis
H. Ma’luf Amin, S.Pd.
H. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA
NAMA DAN KELAHIRAN
Beliau bernama Syekh Muhammad Amin bin Abdullah bin Nyi Kati  binti Nyi kanisah binti Syekh  Alim bin Ki  abdullah bin Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri  bin Ki Mahmud bin raden saleh bin Sulthan Abul Mufakhir bin  Sulthan Maulana Muhammad Nashruddin bin Sulthan Maulana Yusuf bin Sulthan maulana Hasanuddin bin Syarif hidayatullah (Sunan gunung Jati).
 Beliau  juga adalah keturunan Sulthan Agung Tirtayasa melalui Nyi Ratu Hadisah. Nyi ratu Hadisah adalah isteri dari Syekh Alim bin Abdullah. Nyi Ratu Hadisah tinggal bersama suaminya Syekh Alim di Kresek tepatnya di cideng kanoman. Di sana syekh alim mendirikan pesantren yang cukup besar. Selain sebagai Kiayi,  syekh Alim juga kaya raya. Binatang ternaknya yang berupa kerbau begitu banyak. Di samping pesantren terdapat kandang kerbau yang cukup besar sehingga orang-orang kemudian menyebut cideng kanoman dengan kandang gede.
Adapun silsilahnya sampai ke Sulthan Agung Tirtayasa adalah Syekh Muhammad Amin bin Abdullah bin Nyi Kati bin Nyi Kanisah bin Nyi ratu hadisah bin Syekh Nurahim bin syekh Abdul Muid bin Sulthan Maulana manshur abdul Kohhar bin sulthan Agung tirtayasa bin maulana Abul Ma’ali bin Sulthan Abul Mafakhir bin Sulthan Maulana Muhammad nashruddin bin Sulthan maulana Yusuf bin sulthan maulana hasanuddin.
Beliau juga adalah keturunan dari syekh ciliwulung seorang waliyullah yang sangat terkenal di daerah Banten Utara. Makamnya ramai di ziarahi masyarakat setiap hari apalagi malam jum’at. Adapun silsilahnya sampai ke Syekh Ciliwulung adalah: Syekh Muhammad Amin bin Abdullah bin Nyi Kati bin Nyi kanisah bin Syekh alim bin syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri bin Nyi ratu Fatimah binti syekh Ciliwulung bin raden Kenyep bin Pangeran Arya Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun Sumedang.
Beliau dilahirkan di kampung sepang Desa koper kecamatan kresek Kabupaten Tangerang Banten pada tahun 1899 M. berarti dua tahun setelah wafatnya syekh Nawawi At-tanara Al Bantani yang wafat di makkah al Mukarromah tahun 1897 M.
Beliau di lahirkan dari keluarga santri yang taat beribadah. Silsilahnya yang sampai ke Syekh hasan bashri dan syekh ciliwulung Cakung menjadi pertanda bahwa secara turun temurun mustika kesantrian itu melekat dalam diri Buya Amin. Cakung adalah sebuah daerah perbatasan antara Serang dan tangerang sebagiannya masuk wilayah serang dan sebagian lagi masuk wilayah Tangerang. Pada zaman kesultanan Banten sampai akhir abad 18 cakung adalah pusat ilmu pengetahuan keislaman  di daerah Banten. Para wali dan ulama banyak yang bermunculan dari daerah ini.


MASA KESANTRIAN SYEKH MUHAMMAD AMIN
Buya Amin sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan giat belajar agama. Kakeknya yang bernama Ki Abdurahman  ayah dari Ki Abdullah adalah pengelana dari jawa Timur. Menikah dengan Nyi Kati dan dikaruniai anak bernama Ki Abdullah yaitu ayah buya Amin. Dari kakeknya inilah mungkin menurun jiwa pengelanaan Buya Amin yang kemudian rajin berkelana menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren.
 Tercatat beliau mesantren keberbagai pesantren di Banten di antaranya ke pesantren Kadulisung Pandeglang, pesantren Pasir bedil Rangkas Bitung, Pesantren Pelamunan asuhan Syekh tohir al Falamuni Al-Bantani dll. Di pesantren Pelamunan ada dua santri yang bernama Amin yang keduanya adalah murid kesayangan Syekh Tohir. Dikisahkan bahwa Syekh Tohir ingin menikahkan salah seorang putrinya dengan salah seorang dari dua Amin yang sama cerdasnya ini. Dengan pandangan bathin akhirnya Syekh Tohir memilih Amin yang satunya dan membiarkan Buya Amin Koper mendirikan pesantren di Koper. Rupanya Syekh Tohir mengetahui bahwa kelak Buya Amin Koper akan sangat dibutuhkan masyarakat di daerahnya.
 Sebelum mesantren ke daerah luar, Buya Amin mesantren di daerah Kresek yang banyak terdapat ulama-ulama yang mumpuni seperti Syekh Muhammad Ramli yang kemudian di angkat menantu oleh gurunya itu. Dari pernikahan dengan putri Syekh Muhammad ramli ini Buya Amin mempunyai anak KH. Ma’ruf Amin yang kelak menjadi salah seorang dari Sembilan Dewan Penasihat  Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Selain kepada syekh Muhammad Ramli, Buya amin juga di kresek nyantri kepada syekh Misbah di Koper. Syekh Misbah dan Syekh Muhammad Ramli juga adalah keturunan dari syekh Hasan Bashri Cakung. Buya Amin juga murid dari Syekh Sabi’un Ranca Sumur dan Habib Husen Jakarta.
Kehausan akan ilmu pengetahuan membawa Buya Amin menuntut ilmu di kota suci Makkah Al-Mukarromah sekitar tahun 1930. Pada tahun 1936 beliau pulang dari Makkah dan menikah dengan Nyai hajah Nurjannah dari serang. Kemudian setelah menikah mendirikan pondok pesantren di Koper.

MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Seperti dikisahkan sebelumnya, setelah pulang dari dari Makkah al Mukarromah dan menikah buya Amin mendirikan pondok pesantren di koper Kresek pada tahun 1936.  Berdatanganlah para santri dari berbagai daerah di Banten dan Jawa Barat di antaranya dari Tangerang, Bogor, serang, Karawang dan lain-lain.
Buya Amin dikenal para santri sebagai guru yang ikhlas dan tawaddu. Pancaran sinar keilmuan tergambar dari wajahnya yang penuh kesejukan. Namun walaupun dikenal sejuk Buya juga dikenal sangat keras dalam mendidik santri diwaktu-waktu  tertentu. Darah para sulthan Banten yang penuh heroic dan darah para aulia yang suci menyatu dalam diri Buya Amin. Ketegasan dan keberanian adalah bakat alami yang dimiliki para keturunan sulthan seperti Abuya. Dan nilai-nilai kesantrian yang penuh dengan tradisi kesufian dan kesejukan mewarnai diri Buya dalam mendidik para santri.kedua-duanya kemudian menjadikan diri Buya dapat melebur dalam segala suasana untuk mengawal umat menuju keridoan Allah Swt.
Dikisahkan kecintaan dan kasih sayangnya kepada para santri kadang-kadang tergambar seperti melebihi cinta dan sayang untuk anak-anaknya sendiri. Tak jarang Buya memasak nasi goreng kemudian setelah matang diberikan untuk para santri. Beliau juga dikenal sangat memuliakan setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya. Buya Busthomi Cisantri Pandeglang mengatakan setelah bertemu dengan Buya Amin: “Jiwa kerasku luluh ketika bertemu dengan Buya Amin, seorang yang alim yang ilmunya begitu tinggi tidak menampakan dirinya seperti layaknya orang yang ingin dimuliakan”. Buya Bushtomi menambahkan : “Saya belajar banyak dari kelembutan jiwa ulama Kresek seperti buya Amin”.
Para santri banyak yang mengisahkan sering sekali Buya ketika santri membaca kitab beliau Nampak tertidur, tapi ketika santri membaca ada yang salah beliau langsung membetulkannya. Memang hari dan malam buya, ketika tidak mengajar santri selalu diisi oleh ibadah dan memutalaah kitab-kitab. Banyak masalah-masalah umat yang datang kepada beliau yang harus dicarikan penyelesaiannya dari kitab-kitab mu’tabarah.
Pesantren Koper banyak melahirkan ulama-ulama yang menjadi tumpuan umat di antara murid-murid Buya Amin adalah KH. Syarbini pengasuh pondok pesantren Al-falah Kresek, KH. Nurzen pengasuh pesantren Al-Hikmah Pendawa Binuang, KH. Mahmud dan KH. Qalyubi pengasuh pesantren Manba’ul hikmah Renged Kresek, KH. Nawawi pengasuh pesantren Tarbiyatul Mubtadiin Pasir Nangka Tigaraksa, Syekh mufti asnawi pengasuh pesantren darul hikmah Srewu Cakung Binuang, KH. Humaid Endol Tanara pengasuh Majlis Ta’lim syekh Nawawi Tanara, KH. Ahmad Romli pengasuh pesantren Dangdeur Balaraja, KH. Kalyubi Mauk, KH. Munir Cikarang Bekasi, KH. Hasbullah binuang, KH. Syatibi Ampel, KH. Sayuti Bolang, KH. Nasihun Daon, KH. As’ad Bendung, KH. Syarif Kubang, KH. Rafiuddin Saga, KH. Sukama cikande, KH. Sukri Koper, KH. Marjani cijeruk dll.
PENGAJIAN SELASA DI ARRUHANIYAH
Buya Amin bersama H. Abdul Gani  adalah pencetus pengajian setiap hari selasa di masjid Agung Arruhaniyah kresek yang sudah berlangsung sejak sebelum merdeka hingga sekarang. Pengajian Selasa di Arruhaniyah adalah pengajian yang diikuti oleh para ulama dan kiayi dari berbagai daerah. Pengajian selasa adalah barometer masyarakat  dalam bidang hokum islam. Fatwa-fatwa para muqri (pembaca kitab kuning) di pengajian selasa menjadi acuan dan pegangan. Hal demikian tentunya dikarenakan selain yang membaca, hadirin peserta pengajian juga mayoritas adalah para kiayi. Jadi akan sulit fatwa yang salah akan dibiarkan dalam pengajian selasa. Bisa dikatakan ijma ulama kresek, kronjo, gunung kaler, binuang, tanara dan sekitarnya terjadi di pengajian selasa masjid arruhaniyah kresek.
Saat buya Amin masih hidup, muqri pengajian selasa hanya Buya Amin sendiri. Para ulama lain segan membaca kitab di hadapan buya. fatwa-fatwa buya amin adalah rujukan sentral para ulama waktu itu. Ketabahurran Buya dalam berbagai disiplin keilmuan menjadikannya seorang ulama yang paripurna. Ia adalah seorang faqih yang sufi, mufassir yang muhaddis, dan nahwiy yang ushuli. Buya juga sangat mahir mengajarkan ilmu bayan, ma’ani dan badi’. Beliau juga  sangat ahli dalam ilmu faraid. 
Setelah beliau wafat  pada tahun 1415 H atau  delapan belas tahun yang lalu, pengajian selasa diteruskan oleh murid kesayangannya yaitu Syekh Mufti bin  asnawi pengasuh pesantren Darul Hikmah srewu Binuang. Sama seperti gurunya syekh Mufti bin Asnawi kemudian menjadi rujukan para ulama dan masyarakat dalam hokum islam. Ketika masa syekh Mufti bin Asnawi inilah dimulai pembaca kitab bukan hanya sendiri tapi juga melibatkan beberapa kiayi. Ketika syekh Mufti bin Asnawi wafat pada tahun 1432 H, pengasuh pengajian di emban oleh murid Buya Amin yang lain yaitu KH. Hamzah dari Gunung Kaler bersama para kiayi yang lain. Sekarang pengajian selasa di asuh oleh KH. Hamzah Gunung kaler, KH. Junaid Jati Pulo, KH. Rasyidi (pengasuh Ponpes Riyadlul Jannah) tengger kemuning, KH. Toyib Kandawati, KH. Kamta talok, KH. Syambas Renged dan H. Imaduddin Utsman (pengasuh ponpes Nahdlatul ulum) Cempaka Kresek.
BUYA AMIN DAN AQIDAH AHLUSSUNAH WALJAMAAH
Aqidah Ahlussunnah waljamaah adalah aqidah mayoritas muslim dunia. Aqidah yang berlandaskan al-qur’an hadis dan ijma para ulama. Pada awal abad 20, aqidah ahlussunah waljamah mendapatkan tantangan dari aqidah wahabiyah yang disebarkan oleh kerajaan Arab Saudi. Di Makkah yang pada waktu itu telah dikuasai oleh rezim wahabi, Buya amin tetap konsisten untuk berdiri tegak di bawah bendera Ahlussunnah wal jamaah. Beliau di Makkah berguru kepada para ulama yang masih memegang dengan kuat ajaran-ajaran ulama salaf dalam tradisi ahlussunnah waljamaah.
Ketika beliau pulang ke tanah air, di Indonesia telah terbentuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam NU adalah ormas yang membela mati-matian ajaran-ajaran ulama salaf dan tradisi pesantren yang tengah habis-habisan di serang oleh Ormas wahabi di Indonesia yaitu Muhammadiyah. Buya amin langsung masuk dalam ormas NU dan menjadi salah seorang ulama yang berdiri di front terdepan dalam melawan ajaran wahabi di Banten yang disebarkan Muhammadiyah.
Ketika NU bergabung dengan Masyumi tahun 1943 Buya Amin aktif dalam Masyumi yang di ketuai hadratusyekh hasyim Asy’ari.  Pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan  mengikuti pemilu tahun 1955, dengan perjuangan Buya Amin dan ulama lainnya partai NU menang mutlak di Tangerang. Pada malam terjadinya peristiwa pemberontakan PKI tanggal 30 september 1965, Buya Amin tengah melantik kepengurusan NU tingkat ranting  sekecamatan kresek yang berlokasi di kemuning.  Pada tahun 1975 terjadi fusi antar partai islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Buya Amin pun sami’na wa ato’na untuk bergabung dengan PPP dan menjadi penasihat PPP Kabupaten tangerang.  Kecintaannya kepada islam dan umat islam itulah yang membuat Buya Amin terus berjuang dalam organisasi yang berlandaskan islam ahlussunnah wal jamaah.
Ada tiga kiayi yang waktu itu sangat terkenal perjuangannya bagi ormas NU. Tiga kiayi ini adalah segitiga pager NU di Banten. Mereka adalah KH. Abdul Kabir pengasuh pesantren Kubang Petir, Buya Muhammad Syanwani pengasuh pesantren Sampang Tirtayasa, dan Buya Amin Koper.
Tiga tokoh NU Banten ini sering sekali berhubungan untuk membicarakan strategi pertahanan kaum nahdliyyin dari serangan kaum Muhamadiyyah. Ustad Karman, salah seorang santri Petir mengisahkan sering sekali KH. Abdul Kabir mengamantinya untuk sekedar menyampaikan salam kepada Buya Amin. Suatu saat, KH. Abdul Kabir mengatakan kepada ustad Karman, “sampaikan kepada Buya Amin bahwa abah dalam keadaan sehat, dan sampaikan salam abah untuk Buya!”. 
Setelah sampai di Koper dan menyampaikan amanat KH. Abdul Kabir, kemudian Buya Amin mengatakan, “alaika waalaihissalam Sampaikan juga salam abah kepada Ki Kabir dan khabarkan   bahwa Abah juga dalam keadaan sehat dan mohon maaf karena kemarin kecolongan Ki Banjar lolos ceramah di Rancailat.”
Ki Banjar adalah seorang penceramah yang dikenal telah masuk muhammadiyah. Ketika itu di petir dan kresek sangat ketat pengawasan buya amin dan ki kabir untuk tidak membiarkan ada penceramah Muhamadiyah masuk ke Petir dan kresek. Ki Banjar kemudian masuk kembali ke pangkuan NU di akhir hayatnya.
Pada muktamar NU di Situbondo tahun 1984 diputuskan bahwa NU kembali ke Khittah Ashliyyah Nahdliyyah 1926 dan tidak terjun ke dalam politik praktis. Sejak itulah Buya Amin mengurangi aktifitas keorganisasian dan memilih aktif mengawal umat dalam ubudiyyah kepada Allah Swt sampai beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 1415 H.
KELUARGA BUYA AMIN
Buya Amin menikah dengan enam orang isteri yang dinikahi sendiri-sendiri dan dua diantaranya dengan di jama. Pertama kali beliau menikah dengan Nyai Ratmah dari Dangdeur Balaraja tidak dikaruniai anak.
Kedua menikah dengan Nyai hajjah santi dari srewu binuang dikarunia seorang anak yang bernama H. sayuthi. Ketiga Buya menikah dengan Nyai hajjah maemunah putri Syekh Muhammad ramli dari cideng Kresek dikaruniai dua orang anak yaitu Musyarrofah dan KH. Ma’ruf Amin yang kini menjabat Ketua MUI pusat dan Dewan Penasihat presiden susilo Bambang yudoyono.
Keempat beliau menikah dengan Nyai Hajjah Nurjannah dan dikaruniai anak 12 yaitu: H. Abdurrouf Amin, Afifah, Atiqah, Asyiqah, Afiyah, Athirah, KH. Ma’luf Amin, Ma’fuf Amin, Abiqah, Masyruf Amin, Malthuf Amin, maksyuf Amin, dan Abdullah Amin.
Yang terakhir dengan di jama bersama Nyai Hajjah Nurjannah Buya Amin menikah dengan Nyai Hajjah Mardhiyyah dan di karuniai anak 7 yaitu: K. Busyairi Amin, budairi Amin, nikmatullah Amin, muflihah, Bunyanuddin Amin, Sirajul Millah Amin dan Murtafiah. Beliau juga menikah dengan nyai Hajjah dzurriyah binti KH. Abdurrahman Pendawa tidak dikaruniai anak.

SANAD KEILMUAN BUYA AMIN BIN ABDULLAH
Buya Amin banyak berguru kepada para ulama, kiayi dan habaib yang tak terhitung dan tidak diketahui banyaknya. Namun dari banyaknya para guru beliau penulis ingin menyebutkan salah satu sanad beliau dalam keilmuan melalui Syekh tohir alfalamuni al-Bantani. Adapun silsilahnya adalah:
1.       Nabiyyina wa Habibina  Muhammad saw.
2.       Saidina Abdullah bin Umar ra.
3.       Imam Nafi Attabi’i
4.       Imam Malik
5.       Imam Muhammad bin idris As-syafi’i
6.       Imam Al-muzani
7.       Imam Abdul Malik
8.       Imam Alghazali
9.       Imam Abdul Kari mar-Rafi’i
10.   Imam kamal Al-Asy’ari
11.   Imam Yahya An-nawawi
12.   Imam Abdurrahman Al-iraqi
13.   Imam Umar Al-bulqini
14.   Imam Tajuddin as-Subki
15.   Imam Ahmad Al-Mahalli
16.   Imam Zakariya Al-Anshori
17.   Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
18.   Syekh zaenuddin Al-Malibari
19.   Syekh  Zaini Dahlan
20.   Syekh Nawawi Al-Bantani
21.   Syekh Husain Carita Al-Bantani
22.   Syekh Abdul Halim Al-Bantani
23.   Syekh tohir Al-falamuni Al-bantani
24.   Syekh Muhammad Amin bin Abdullah Al-Kubairi Al-bantani

SANAD SILSILAH NASAB
1.       Nabiyuna Wahabibuna Muhammad Saw
2.       Siti Fatimah Azzahra
3.       Saidina husen
4.       Imam Ali zaenal Abidin
5.       Imam Muhammad Al-baqir
6.       Imam ja’far As-shodiq
7.       Imam Ali Al-Uraidi
8.       Imam Muhammad An-naqib
9.       Imam Isa An-Naqib
10.   Imam Ahmad al Muhajir ilallah
11.   Imam Ubaidillah bin ahmad
12.   Sayyid Alawi bin ubaidillah
13.   Imam sayyid Muhammad bin Alawi
14.   Sayyid Alawi bin Muhammad
15.   Sayyid Ali Qosam
16.   Sayyid Muhammad Sahib Mirbath
17.   Sayyid alawi bin Muhammad sahib
18.   Amir abdul Malik
19.   Malik Abdullah adzomat Khan
20.   Sayyid Ahmad syah Jalal
21.   Maulana Jamaluddin Akbar Husain
22.   Ali Nuruddin
23.   Malik Amatuddin Abdullah
24.   Maulana syarif hidayatullah
25.   Maulana Hasanuddin
26.   Maulana yusuf
27.   Maulana Muhammad Nashruddin
28.   Sulthan Abul Mufakhir
29.   Raden saleh
30.   Raden Mahmud
31.   Syekh hasan Bashri Cakung
32.   Syekh Ibrohim
33.   Syekh Abdullah
34.   Syekh Alim
35.   Nyi Kanisah
36.   Nyi kati
37.   Ki Abdullah
38.   Syekh Muhammad Amin Koper

WAFATNYA SYEKH MUHAMMAD AMIN BIN ABDULLAH
Manusia mulia ini mengisi hidup dengan pengabdian kepada Allah. Membimbing umat menuju keridoanNya. Pada tanggal 16 Safar 1415 h. isterinya yang terakhir yaitu Nyai Hajjah Mardiyyah di tegal Kamal meninggal dunia. Buya Amin mengatakan setelah isterinya itu wafat bahwa ia ingin segera kembali ke tanah kelahirannya di Koper. Rupanya itu adalah sebuah isyarat bahwa tak lama lagi ia pulang ke hadirat dzat yang di rindukannya yaitu Allah Swt. Pada subuh hari Sabtu tanggal 12 Rabiul awal 1415 H. bertepatan dengan hari




kelahiran Kekasihnya yakni Nabi Muhammad Saw,belum genap satu bulan dari wafatnya isterinya, Buya Amin pergi ke hadirat Arrofiqul’a’la Allah azza wajalla. Kemudian beliau di makamkan di maqbarah semit di Koper.


FAIDAH: SANAD SEBAGIAN ULAMA KETURUNAN SYEKH HASAN BASHRI DAN SYEKH CILIWULUNG CAKUNG.
Dalam faidah ini, penulis ingin menyebutkan sanad sebagian kiayi pengasuh pesantren dan ulama yang mempunyai garis keturunan dari Syekh hasan Bashri dan syekh Ciliwulung Cakung. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat jalinan silaturahmi dan persatuan para ulama-ulama dalam mengawal umat menuju ridlo Allah swt. Banyak juga ulama yang bernasab kepada syekh ciliwulung atau Syekh hasan Bashri yang tidak dapat disebutkan karena kekurangan data:
Syekh Astari: bin Ki Maulana Ishaq bin Ki Muhammad Rafiuddin bin Nyi Ratu Antimah bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
Syekh Makmun: bin Nyi dzuriyah bin Ki Dangi bin Nyi Ratu Antimah binti Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri. Atau syekh ma’mun bin Syekh Muhamad Ali Al Madinah bin Ki soiman bin hasan bin syekh Zen bin Ki Cinding bin Syekh Ciliwulung.
KH. Bushro: bin Syekh zen bin Nyi Darwinah binti Syekh Dangi  bin Nyi Ratu Antimah bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri. Atau KH. Busyro bin Ki Zen Bin Muhamad Ali bin  Ki soiman bin Ki hasan bin syekh Zen bin Ki Cinding bin Syekh Ciliwulung.
KH. Salim: bin Syekh zen bin Nyi Darwinah binti Syekh Dangi  bin Nyi Ratu Antimah bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri. Atau KH. Salim bin Ki Zen Bin Muhamad Ali bin  Ki soiman bin Ki hasan bin syekh Zen bin Ki Cinding bin Syekh Ciliwulung.
Syekh Mufti (pengasuh Ponpes Darul Hikmah Srewu): bin Asnawi bin Bahauddin bin Ki Ramli bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
KH. Maruf Amin: bin Syekh Muhammad Amin bin Abdullah bin Nyi Kati binti Nyi Kanisah bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
KH. Syatibi (Pengasuh pesantren al-hikmah Jakarta): bin Abdul Ghani  bin Nyi Haji Armunah bin Ki Usman bin Ki Bendo bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
H. Imaduddin Utsman (Pengasuh Pesantren NU Cempaka): bin Nyi Suarah binti Nyi Haji Aminah   bin Nyi Haji Armunah bin Ki Usman bin Ki Bendo bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
Syekh syarif Cakung (Ki Ayip): bin Nyi Ratu Antimah binti Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
KH. Latif Humaidi (pengasuh Pesantren Al-Falah): Bin Nyi Fatimah bin Ki Mushtofa bin Nyi Mastu bin Syekh Ismail  bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
K. abdul Halim Cakung: bin Halimi  bin Nyi Ratu sarwati bin Ki Jahari bin Ki As’ad  bin Nyi ratu Antimah bin Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
K. Umar cakung: bin Syamsul ma’arif  bin Ki Abdul faqar  bin Ki As’ad bin Nyi ratu antimah binti Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrahim bin Syekh Hasan Bashri.
KH. Ali Zen (pengasuh ponpes Al-Hikmah Pendawa): bin KH. Nurzen bin KH. Abdurahman bin ki Astari bin Ki Hasan bin Ki Soiman bin Ki Abdullah bin Ki Mubarok bin Ki Ilyas bin Ki Cinding bin Syekh Ciliwulung.
KH. Fakhruddin Lempuyang: bin Ki Soleh bin Ki Mulud bin Ki Sohari bin Ki Ahmad Nafis bin Ki Abdul Akhir (Ki Adung) bin Ki Karomuddin bin Ki Sauddin bin Syekh Ciliwulung.
KH. Abdul galib: bin Nyi Kadanah binti Ki Bashir bin Nyi Mayi binti Nyi Runi binti Nyi Shofiyah (Nyi Buyut Ketul) bin nyi Syarifah/Sarwinah binti syekh Hasan Bashri.
KH. Sofwatuddin (Pengasuh Ponpes Darul Hikmah srewu):  bin Nyi Sutihat binti Ki soleh bin Ki Mulud bin Ki Sohari bin Ki Ahmad Nafis bin Ki abdul akhir (Ki Adung)  bin Ki Karomuddin bin Ki sauddin bin Syekh ciliwulung.
KH. Mukit Laban: bin Nyi Hawa bin Ki Mulud bin bin Ki Sohari bin Ki Ahmad Nafis bin Ki Abdul Akhir (Ki Adung) bin  Ki Karomuddin bin Ki Sauddin bin Syekh Ciliwulung.
KH. Abdul Maram: bin Nyi Hajjah dzurriyah binti KH.Abdurrahman bin ki Astari bin Ki Hasan bin Ki Soiman bin Ki Abdullah bin Ki Mubarok bin Ki Ilyas bin Ki Cinding bin Syekh Ciliwulung.
KH. Maimun Ali (Pengasuh Ponpes Subulussalam): bin Nyi Haji Danah bin Ki Ali bin Nyi Hawa Bin Nyi Ami bin Ki Alim bin Ki Abdullah bin Ki Ibrohim bin syekh Hasan Bashri
Syekh Asnawi Caringin: bin Nyi Mastijah binti Ki amba bin Ki Cinding bin Syekh ciliwulung.
Syekh Ismail Belod: bin Ki Ules bin Ki dana bin Ki Ikram bin Ki sueb bin Syekh Ciliwulung
Ki Syafei kebon Jeruk: bin Ki Makiya bin ki Aspa bin Ki Sahal bin Ki Hasan bin Ki Nung bin Ki Zen bin Ki Cinding bin syekh Ciliwulung.
Ki Amran Bugel: bin Ki Muhammad bin Ki Alim bin Ki Abdullah bin Ki Ibrohim bin Syekh Hasan Bashri.
KH. Hudri lempuyang: bin Ki Mulud bin Ki Sohari bin Ki Ahmad Nafis bin Ki abdul akhir (Ki Adung)  bin Ki Karomuddin bin Ki sauddin bin Syekh ciliwulung.
KH. Humed Endol: Bin Ki Aryani bin  …bin ki Abdul akhir (Ki Adung) bin Ki Karomuddin bin Ki sauddin bin Syekh ciliwulung.
KH. Fudel Lempuyang: bin Ki Soleh bin Ki Mulud bin Ki Sohari bin Ki Ahmad Nafis bin Ki abdul akhir ( Ki Adung) bin  Ki Karomuddin bin Ki sauddin bin Syekh ciliwulung.
KH. Fahri Aslam: bin Nyi Fatimah bin Nyi Asybah bin Ki Asnawi bin Ki Abdul latif (Ki Atif) bin ki karomudin bin ki sauddin bin syekh Ciliwulung
KH. Fathoni Lempuyang: bin Ki Usman bin nyi cilik binti ki abdul rasyid bin Ki Abdul akhir (ki Adung) bin ki karomuddin bin ki sauddin bin syekh ciliwulung
KH. Jarnuji lempuyang: bin Ki Salim bin ki as’ad bin ki hasan bin ki ali bin abdul latif (Ki Atif) bin ki karomuddin bin ki sauddin bin syekh ciliwulung
KH. Sanwani Kelapiyan dan KH. Abdul goffar: bin Nyi saodah binti ki ali bin kiabdul latif (ki atif) bin ki karomuddin bin ki sauddin bin Syekh ciliwulung.
KH. Baikandi (Pengasuh Pesantren Darul arham Rajeg) bin Abdul gani bin Burhan bin Abdul Jabbar bin Sufyan bin Asma bin Abdulatif bin Karomuddin bin Sauddin bin Syekh ciliwulung. 
Waalahu a’lam bishowab…










DAFTAR ISI
MUQADDIMAH……………………………………………………………
NAMA DAN KELAHIRAN………………………………………………1
MASA KESANTRIAN…………………………………………………….5
MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN…………………………..6
PENGAJIAN SELASA DI ARRUHANIYAH………………………8
BUYA AMIN DAN AQIDAH AHLISSUNNAH
WAL JAMAAH…………………………………………………………….10
KELUARGA BUYA AMIN……………………………………………..12
SANAD KEILMUAN……………………………………………………..13
SANAD SILSILAH NASAB……………………………………………..14
WAFATNYA BUYA AMIN…………………………………………….16
FAIDAH KETURUNAN SYEKH HASAN
BASHRI DAN SYEKH CILIWULUNG………………………………17







SYEKH ALIYUDDIN SALIB




                                       

                                              







SYEKH MUHAMMAD SALIB ALIYUDDIN  AL-BAKASYI
(Mursyid Tarekat Al-Qadiriah Wannaqsyabandiyah)
Oleh: KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
(Pengasuh Ponpes Salafiyah Nahdlatul Ulum Cempaka)

Beliau Istiqomah di Kubak Rante Cikarang utara Bekasi. Lahir di Serang Banten. Adalah seorang  Mursyiduttariqah Al Qadiriyah Wannaqsyabandiyah murid syekh Abdul mutholib Empang Purwakarta. Syekh Abdul Mutholib mempunyai guru Syekh Asnawi Caringin. Syekh Asnawi mempunyai guru syekh Abdul Karim Tanara. Syekh Aliyuddin  mempunyai murid syekh wasiul hasan Binuang Serang (Buya Pertapan). Buya Pertapan mempunyai murid Ki mufassir Padarincang serang, Ki Bahruddin Kasemen serang, ki johan Cakung  Gunung Kaler Tangerang, Ki Anjani Bolang Carenang dan Kang imad Cempaka Kresek.

Wafat pada tahun 1984 di makamkan di Kampung Kubak Rante kecamatan Sukatani Kabupaten Bekasi Jawa-Barat. Pada tahun 1993 ada pembangunan jalan yang melewati masjid dan makam syekh Aliyuddin Salib. Sesuai dengan denah makam dan masjid harus di pindahkan ke sebelah barat jalan. Maka di bongkarlah makam sang Syekh dan subhanallah jasad yang telah terkubur selama Sembilan tahun itu masih utuh bagaikan baru saja meninggal. Ketika masjid nya di bongkar dengan alat berat pas sampai mihrab tempat Syekh Muhammad Salib Aliyuddin mengimami dan duduk berdzikir ternyata alat berat yang bermesin canggih dan terbuat dari baja berat itu tak mampu membongkar mihrab itu. Sampai sekarang mihrab itu dijadikan situs peninggalan Syekh Muhammad Salib Aliyuddin. 

SYEKH AHMAD KHOTIB SYAMBAS



                                                 









SYEKH AHMAD KHOTIB SYAMBAS
Oleh : KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
(Pengasuh Ponpes Salafiyah Nahdlatul ulum cempaka-Banten)

            Syekh ahmad khotib Syambas lahir di kampong Dagang kesultanan Sambas Kalimantan Barat pada bulan Shafar 1217 hijriyah atau tahun 1803 masehi. Ayahnya bernama Abdul Gaffar bin Abdullah bin Jalaluddin. Ayahnya adalah perantau dari Kampung Sange.
            Selain kepada ayahnya Ahmad khotib kecil belajar kepada para ulama di wilayah kesultanan Sambas salah satunya adalah Syekh nuruddin Musthofa yang merupakan imam masjid kesultanan Sambas. Setelah belajar dasar-dasar agama kepada ayahnya dan syeh Nuruddin, pada tahun 1820 Ahmad khotib berangkat ke Makkah al Mukarromah dalam usia 17 tahun untuk meluluskan dahaganya akan ilmu pengetahuan.
            Di Makkah ia menikah dengan gadis arab keturunan melayu, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah sampai wafat pada tahun1875.
            Selain Syekh Nuruddin Musthofa, guru-gurunya yang lain adalah:
  1. Syekh Muhammad arsyad al Banjari
  2. Syekh daud binAbdullah al fathani
  3. Syekh abdussomad al palimbaniSyekh abdul Hafidz al-ajami
  4. Syekh ahmad al-marzuki
  5. Syekh syamsuddin (mursyid tarikat al-qadiriyah yang tinggal di Jabal Qubaisy Makkah.

Syekh Ahmad Khotib Syambas adalah telaga agung yang menjadi muara dua aliran tarekat yang sangat termasyhur, yaitu al-qadiriyah dan al-Naqsyabandiyah. Mulai dari beliaulah dua tarikat ini disatukan. Al-qadiriyah merupakan refleksi dzikir jahr (suara keras) sementara Al-Naqsyabandiyah adalah dzikir sirr (rahasia/di dalam hati).
Dua tarekat ini beliau ijazahkan dan ajarkan kepada murid-murid beliau dan terus berkembang pesat terutama di daerah Nusantara. Sepeninggal beliau yang menjadi pengganti adalah Syekh Abdul Karim Al Bantani. Dari Syekh Abdul Karim Al Bantani inilah gabungan dua tarekat berkembang pesat ke seluruh dunia terutama di asia tenggara.
Walaupun beliau tidak pernah pulang ke tanah air, tetap kepeduliannya terhadap keadaan tanah air tak pernah padam. Melalui ajaran-ajaranya kepada murid-muridnya tentang jihad kemudian pada tahun 1888 murid-murid beliau dari banten yang berdarah panas melakukan pemberontakan yang membuat pemerintah colonial kalang kabut. Begitu pula murid beliau Tuan Guru bangkol dari lombok memimpin suku Sasak untuk mengadakan perlawanan terhadap colonial.