Kamis, 06 Juni 2013

MENGENAL TRADISI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH



MENGENAL TRADISI PESANTREN SALAFIYAH

Pondok Pesantren Salafiyah Nahdlatul Ulum tetap konsisten dalam pengajaran tafaqquh fiddin dalam arti pokok pengajaran Pondok Pesantren ini adalah menciptakan generasi yang betul-betul faham terhadap ajaran Islam dengan menjadikan para santri dapat membaca kitab kuning.

Setelah santri dapat membaca kitab kuning maka dengan sendirinya ia akan memahami ajaran agama dari sumbernya yang asli. Banyak buku terjemahan dari bahasa arab yang ternyata terjemahan itu melenceng dari maksud yang sebenarnya. Akhirnya para muballig, ustad yang hanya bersandar pada buku terjemahan akan tersesat dari makna dan maksud pengarang kitab yang akan berkonsekwensi logis terhadap tersesatnya umat.

Inilah yang sangat ditakutkan oleh Pondok pesantren Salafiyah NU. Zaman sekarang banyak sekali pondok pesantren yang mulai bergeser dari khittah pondok pesantren, mereka menjadikan pondok pesantren hanya sebagai basis pendidikan akhlak dan mengajarkan sesuatu yang sebenarnya bisa diajarkan hanya dengan system kursus, seperti kelihaian berbicara dengan bahasa arab dan inggris namun tidak menjadikan santri sebagai generasi pewaris para ulama yang mutafaqqih fiddin. Mereka hanya menjadi layaknya siswa umum yang mendapat tambahan hidup mandiri dan pendidikan keislaman standar awam.

Ghirah da’wah para Nabi dan para wali du’at penyebar agama yang penuh dengan keihlasan dan perjuangan akhirnya tidak dimiliki oleh para santri model seperti itu, bahkan cita-cita para santrinya pun jauh untuk berkeinginan menjadi para ulama, mereka hanya menjadi pejabat yang islami, pedagang yang islami, birokrat yang islami, politisi yang islami dsb tapi mereka bukan ulama yang fasih berbicara hokum islam kecuali hanya kulit luar yang tipis.

Sementara Pondok Pesantren Salafiyah NU, berkeyakinan bahwa jiwa ulama itu harus menghujam dulu di dalam jiwa; ia harus mutafaqqih terlebih dahulu, lalu ia bisa menjadi apapun. Di manapun posisi kehidupan ia kelak,  ia adalah seorang ulama yang gerak hati dan cita-citanya berbalut niyat dan perjuangan  menyebarnya agama islam di muka bumi. Maka risalah para Nabi pun kemudian diwarisi oleh para santri semacam ini. dan akan lestarilah ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah, bukan hanya ajaran luar yang kasar dan tipis, tapi juga nilai dan rasa yang hanya dicicipi oleh para nabi dan pewarisnya.

Nilai perjuangan, ketabahan, kesabaran, keikhlasan, tawaddu, sidiq, tabligh, amanah dan fatonah nanti bukan hanya selogan tanpa rasa, tetapi menghujam dalam setiap pori-pori dan meresap kedalam jiwa. Lalu Khosyatullah (ketakutan kepada Allah Swt) akan melingkupi setiap langkah dan geraknya. Ciri-ciri yang ditegaskan oleh Al-Qur’an untuk mengidentifikasi ulama adalah khosyyatullah. Untuk mencapai derajat khosyatullah itu perlu pencapaian ilmiyah. Seseorang yang telah mencapai derajat keilmuan tertentulah yang dapat memiliki khosyatullah, maka ilmu para ulama itulah yang pertama kali harus diwariskan kepada para santri untuk mencapai derajat ulama yang bersimultan dengan mencapai khosyatullah. Lalu apakah pesantren yang hanya mengajarkan ‘ngomong’ arab dan inggris tanpa urutan yang jelas dalam mencapai derajat ulama itu bisa mencapai khosyatullah? Sekali-kali tidak!

Apalagi bila di pesantren itu juga terdapat hal-hal yang menjauhkan dan melalaikan dari Allah Swt. Seperti adanya alat-alat musik yang diharamkan. Banyak pesantren modern yang kemudian mengikuti zaman dengan alasan agar pesantren dapat diterima orang-orang modern dan tidak ketinggalan zaman. Padahal tugas pesantren salah satunya adalah menjaga akhlak dan peradaban manusia agar tetap sesuai dengan ajaran Allah dan rasulullah, bukan malah tunduk dan tersungkur oleh ajaran-ajaran iblis yang dikembangkan oleh para pemujanya yaitu dari golongan orang-orang kafir.

KEBANGKITAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH DI BANTEN

Di Banten, terdapat ratusan pondok pesantren salafiyah yang eksis, walaupun data menunjukan adanya ribuan, tetapi penulis kira yang diakui eksistensinya oleh masyarakat mungkin hanya ratusan.

Pesantren salafiyah di Banten ada sejak zaman kesultanan Banten. Ilmu agama berkembang di kesultanan Banten didukung oleh para sultan Banten yang memang para ulama penyebar agama Islam. Setelah kesultanan Banten runtuh pesantren tetap eksis.

Di Cakung-Kresek pesantren telah ada sejak zaman Syekh Ciliwulung (1650 M) ulama pengkader para mufti kesultanan Banten. Putra Syekh Ciliwulung yang bernama Syekh Sa’aduddin (Ki Saudin) mendirikan pesantren di Lempuyang Tanara. Syekh Hasan Bashri bin Nyi Ratu Fatimah binti Syekh Ciliwulung mesantren di pesantren Lempuyang asuhan pamannya itu, Kemudian Syekh Hasan Bashri melanjutkan syekh Ciliwulung mengasuh pesantren di Cakung (1700 M).

Setelah masa Syekh Hasan Bashri, di cakung banyak muncul ulama-ulama yang melanjutkan tradisi pesantren salafiyah, seperti Syekh Abdullah bin Syekh hasan Bashri, Syekh Nururrahim bin Pangeran Abdul Muid bin Sultan Haji. Dan Syekh Alim bin Syekh Abdullah bin Syekh Ibrohim yang mendirikan pesantren di Kresek. Lalu awal abad Sembilan belas di Cakung muncul Syekh Syarif guru dari Syekh Nawawi Tanara. Pada masa Ki Syarif juga ada seorang ulama yang mengarang kitab syarah awamil yaitu Syekh Muhammad Ali Al-Madinah bin Syekh Soiman. Syekh Muhammad Ali wafat di Madinah Al-Munawwaroh maka oleh karena itu ia di kenal dengan Al-Madinah. Syekh Muhammad Ali Al-Madinah mempunyai menantu yang bernama Muhammad Ali juga yang mendirikan pesantren di cakung pada akhir abad 19.

Selain itu pada awal abad 20 di Cakung muncul  Syekh Jahari dan Syekh Maderan, yang keilmuan dari keduannya diakui pada masanya. Selain mereka berdua, Syekh Astari bin Ishaq dan syekh Ma’mun bin Muhammad Ali al-madinah serta Syekh Muhammad Amin bin Abdullah kemudian menjadi tiga  orang yang sangat mewarnai keilmuan wilayah Banten yang berasal dari Cakung.

Di Laes Keragilan muncul Syekh sufyan, ia adalah salah seorang dari murid syekh Nawawi tanara di Makkah.

Sementara itu awal abad 20 juga dapat di cirikan dengan telah meratanya nilai kesantrian ke seluruh wilayah Banten. Pesantren Salafiyah kemudian berkembang diwilayah selatan. Syekh muqri Abdul hamid Karabohong, Syekh Abdul Halim kadupesing, Syekh Carita, Syekh Asnawi caringin, Syekh Suhaimi padarincang, Syekh tohir Pelamunan, Syekh Abdulatif cibeber, syekh Ahmad Sidiq Cengkudu, Ki Syam’un Citangkil adalah beberapa nama ulama pesantren  yang dapat disebutkan dalam periode ini.

Generasi pesantren Banten berikutnya adalah masa mulai tahun 1950-an sampai akhir abad duapuluh dan awal-awal abad duapuluh satu. Masa ini melahirkan para ulama pesantren salafiyah seperti Abuya Dimyati Cidahu Cadasari Pandeglang, Abuya Sanja Kadukaweng Pandeglang, Abuya Mufti bin Asnawi Cakung-Srewu Binuang Serang, Abuya Bustomi Cisantri pandeglang, Abuya Syanwani Sampang Tirtayasa Serang, Abuya Luzen Pelamunan Serang, Ki Tubagus Hasuri tohir Kaloran Serang, Ki Abad Cengkudu Baros Serang, Ki Yusuf Caringin Cisoka Tangerang, Ki Dimyati Cilongok Tangerang dlsb.

Kemudian awal abad duapuluh satu muncul ulama-ulama yang tetap konsisten dengan tradisi salafiyah yang kental. Di antara mereka adalah para penerus generasi sebelumnya dan sebagiannya lagi adalah membuka pesantren yang baru. Di masa ini kita bisa sebutkan nama seperti Ki Mufassir atau Ki Munfasir Barugbug Serang, Ki Muhtadi bin Abuya Dimyati, Ki Uci Kurtusyi bin Ki Dimyati Cilongok Tangerang, Ki Umni bin Abuya Luzen pelamunan  Serang dlsb.

Di masa inilah berdiri Pondok pesantren Salafiyah Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek Tangerang Banten.

Pondok Pesantren Salafiyah Nahdlatul Ulum di asuh oleh seorang pengasuh yang sangat kental dalam tradisi pesantren salafiyah. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama besar yang berbasis pesantren salafiyah di Banten pada masanya. Dalam saat yang sama ia juga adalah seorang yang berpendidikan perguruan tinggi sampai jenjang strata dua (Master) dari perguruan tinggi yang ternama. Jenjang S1 ia kuliyah di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin. Di Institut yang diberi nama dengan nama buyutnya ini ia mengambil jurusan Dakwah. Kemudian S2 ia mendapat beasiswa untuk kuliyah di IIQ (Institut ilmu Al-Qur’an) Ciputat mengambil konsentrasi ilmu Tafsir.

Berbeda dengan Pesantren Salafiyah yang lain, Pondok pesantren salafiyah NU mengakomodir pendidikan formal MTs/MA. Tetapi tanpa mengurangi nilai-nilai warisan salafiyah sedikitpun. Bahkan, belajar pelajaran formalpun dilaksanakan dengan tradisi salafiyah yang kental. Para santri ketika sekolah MTs/MA menggunakan busana santri bukan pakaian seragam ala sekolah biasa. Ini dimaksudkan agar nilai dan tradisi salafiyah tetap melekat dalam diri santri NU. Hal ini terinspirasi dari pesantren-pesantren salafiyah yang dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diharapkan dari model seperti ini akan dihasilkan para kiayi/ulama yang ahli hukum agama (pandai membaca kitab klasik/kuning) pada saat yang sama ia dapat menjawab dengan pasih masalah-masalah kekinian baik masalah fikih kontemporer, politik dan social kemasyarakatan. Ia pun tidak akan termarginalkan dalam kehidupan global karena ia memiliki modal pendidikan umum yang memadai dan ijazah yang terkadang menjadi sarat kegiatan tertentu.



                              




Tidak ada komentar:

Posting Komentar