Senin, 14 Mei 2012

KRESEK KOTA SERAMBI BANTEN

KRESEK
 KOTA SERAMBI BANTEN

Oleh:
Imaduddin Utsman







Letak geografis

Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas ribu  jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama.

Bahasa

Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang begitu dekat, juga karena memang sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan bangsawan kraton Surasowan Banten yang nanti akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek.

Asal-Usul Masyarakat Kresek

Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas  penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut. 
ketika tahun 1663 Raden Lenyep atau Raden Kenyep atau Pangeran Arya Wangsakara atau Imam Haji wangsareja menjadi adipati Tangerang diangkat oleh Sultan agung Tirtayasa, beliau menikah dengan Ratu Maimunah binti Tubagus Idham Kiayi Tanara dan mempunyai anak Arya Wiranegara atau Syekh Ciliwulung dan menetap di Cakung Kresek.
Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sauddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah.
Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh pada masa pemerintahan sultan Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687)  atau yang dikenal dengan sultan Haji.
Dari pernikahan ini mempunyai putra bernama Raden Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai empat orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah menikahkan anaknya yang bernama Syekh Alim dengan Nyai Ratu hadisah cicit Sultan maulana Mansur. Ayah nyai ratu hadisah adalah Raden Nururrohim bin Pangeran Abdul Muid bin sultan Maulana Mansur Abunnashar Abdul Kohar.
Syekh Alim adalah seorang ulama besar yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Aminah.
Dari Syekh Alim inilah banyak menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya. Selain dari keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya.

Sultan Agung Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek

Pada tahun 1659 Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.
Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de Sultan Ageng’  yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel  pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat rumah itu di  Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek.

Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang  sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang. Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC.
VOC menganggap kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan  berjumlah 100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang.
Kraton Surasowan memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang ‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang jawa Mataram.
Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa Melayu sehingga kemudian melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi.
Dari timur mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang, Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih menggunakan bahasa jawa-Banten.  Kemudian di wilayah Selatan mulai dari Padarincang, sebagian Ciomas, Serang,  Taktakan, kelapa dua, terus agak ke barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara, kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga  siap untuk berperang bila diperintahkan sultan.
Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian keturunan mereka berbahasa sunda.  Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten. Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda Banten.
 Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang ‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk  Banten mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen  seperti yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten.
Kini penduduk Banten berjumlah sekitar 9 juta jiwa  yang sepertiga dari mereka masih setia menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.

2 komentar:

  1. Ass.kiayi hebat kuh sejarah kresek wis ana...terus lah berkreatifitas dan ngarang kitab....

    Wass.
    ( Sahabat lama)

    BalasHapus