Kamis, 22 Maret 2012


KH. SYANWANI BIN ABDUL AZIZ
(BUYA SAMPANG)
 













Oleh:
Imaduddin Utsman


            Nama lengkap beliau adalah Muhammad Syanwani bin Abdul Aziz. Beliau lahir dari keluarga kiayi. Ayahnya, KH. Abdul aziz adalah ulama yang kharismatik yang berasal dari Ragas sebuah kampung di kecamatan Carenang Kabupaten serang. Kemudian ayahnya berhijrah di Kampung Sampang Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa. Waktu itu Kampung Sampang masih begitu awam tentang masalah agama. Sang ayah kemudian mendirikan Pesantren di Sampang. Berbagai macam tantangan datang bertubi-tubi dari masyarakat yang sudah terbiasa hidup tak mengenal agama.
            Mamat, nama panggilan KH. Syanwani waktu kecil, berkelana bersama saudara-saudaranya menuntut ilmu keberbagai pesantren. Pesantren-pesantren yang ia pernah berguru kepadanya di antaranya pesantren Cengkudu yang diasuh oleh kiayi besar KH. Muhammad  Sidik. Kemudian Pesantren Gentur di Purwakarta dan lain-lain.
            Setelah mumpuni dalam bidang ilmu pesantren ia pulang ke Sampang untuk membantu ayahnya mengasuh pesantren. Ketika beliau pulang di daerah Banten utara sedang digegerkan dengan munculnya fenomena Ki Umar Rancalang. Ki Umar di kabarkan sebagai waliyullah yang dapat mengetahui hal-hal gaib dan mempunyai berbagai macam karomah yang luar biasa. Mamat, sebagi pemuda yang berilmu pesantren yang mumpuni tidak begitu saja mempercayai Ki Umar sebagai waliyullah. Apalagi dikabarkan Ki Umar mempunyai kelakuan yang tidak biasa dilakukan para kiayi. Atau bisa dikatakan Ki Umar bertingkah layaknya orang gila.
            Dihikayatkan, kemudian Mamat pergi menemui Ki Umar di Rencalang dekat Tanara dengan maksud untuk menguji keilmuan Ki Umar dan ingin membuktikan apakah benar yang dikatakan orang bahwa Ki Umar adalah waliyullah. Sesampainya di pintu rumah Ki Umar, Mamat di kejutkan oleh suara dari dalam rumah: “Kamu datang mau menjajal ilmu, anak muda. Sesungguhnya ilmu itu bukanlah dari apa yang dipelajari tapi apa yang diamalkan.” Atau dengan kalimat dalam bahasa jawa yang maknanya hampir serupa itu.
            Setelah membuktikan keluarbiasaan Ki Umar akhirnya Mamat berkeinginan untuk berguru kepada Ki Umar. Akhirnya Mamat berguru ilmu al ahwal  atau ilmu tasawuf kepada Ki Umar sekitar empat tahun. Dalam sejarah belajarnya Mamat di Ki Umar bukan seperti menuntut ilmu dipesantren dengan mengaji kitab kuning. Tapi Mamat mendapatkan bimbingan batin untuk mencapai derajat kesufian yang paripurna. Setiap hari Mamat diharuskan berpuasa selama ia berguru kepada Ki Umar. Dan ia berbuka dengan apa yang ada diwaktu adzan. Kadangkala mamat hanya berbuka dengan air yang mengalir di dalam selokan.
            Setelah jiwa mamat dirasa cukup siap untuk terjun ke masyarakat, Ki Umar memerintahkan Mamat untuk kembali ke Sampang. Akhirnya kemudian mamat membantu ayahnya mengajar di Pesantren. Setelah mamat pulang, Pesantren Ashhabul Maimanah maju pesat. Santri dari berbagai daerah datang. Dari Serang, Tangerang, pandeglang, Jakarta, Lampung, palembang, Demak, bogor dan lain-lain.
            KH. Sanwani, atau masyarakat sekitar menyebutnya Yai mamat, mengarang berbagai kitab dalam berbagai disiplin keilmuan. Sepengetahuan penulis, kitab-kitab yang beliau karang kebanyakan berupa nadzam dalam bahasa jawa seperti kitab nadzam alfiyah jawa yang dikenal dengan kitab kalam nuhat, yaitu terjemahan yang dinadzamkan dari saripati kitab alfiyah Ibnu malik. Kemudian kitab Babe Nenem, yaitu kitab nadzam dalam bahasa Jawa yang menerangkan tentang ilmu shorof. Juga kitab nadzam amil Satus, yaitu nadzam tentang ilmu nahwu. Beliau juga mengarang nadzam tentang ilmu fiqih dan tauhid.
            Selain kitab nadzam, ada beberapa tulisannya tentang ilmu tarkib amil dan jurmiyah yang berupa natsar. Juga kitab dalam ilmu nahwu dan shorof yang berupa Tanya jawab. Kebanyakan kitab-kitab karangannya tak diberi nama khusus, sehingga banyak karangannya dinamai sesuai baris pertamanya saja, seperti kitab babe nenem, amil satus, kalam nuhat, kalimah ana pira dsb.
            Beliau dikenal sangat gigih membela faham ahlussunah wal jamaah manhaj Nahdlatul Ulama. Tahun tujuhpuluhan dan delapanpuluhan adalah tahun-tahun yang sangat mencekam di Tirtayasa karena ada dua arus besar pemikiran islam yaitu NU dan Muhammadiyah. KH. Sanwani adalah panglima perang paling depan dalam melawan faham Muhammadiyah waktu itu yang menyerang kebiasaan keagamaan masyarakat seperti tahlil, ziarah dsb. Yang dianggap oleh orang muhammadiyah sebagai sesat dan bid’ah.
            Beliau juga aktif diorganisasi Ittihadul Muballighin sebagai ketua kabupaten serang. Sebuah organisasi di bawah Nahdlatul Ulama.
            Berbagai manaqib atau kisah hidup yang penuh karomah dan keluarbiasaan terjadi dalam hidup dan sesudah wafatnya KH. Syanwani. Kisah tentang anak seorang gurunya yang diambil menantu oleh seorang kiayi karena dianggap mampu dalam mengasuh pesantren. Dan kebetulan walaupun anak kiayi ternyata dia tak mampu membaca kitab kuning. Lalu sang mertua memaksanya untuk mengajar para santri. Lalu anak guru ini berziarah ke makam ayahnya. Dalam ziarah ini ia mendapatkan impian atau semacamnya untuk mendatangi muridnya yang bernama Sanwani. Dikatakan oleh ayahnya bahwa Sanwani, insya Allah akan dapat menyelesaikan masalahmu. Sang anak kemudian mendatangi KH. Syanwani dan menceritakan seluruh kisahnya. Kemudian KH. Sanwani menyuruhnya membeli beberapa kitab. Setelah kitab tersebut ada, kemudian KH. Sanwani menyuruh anak gurunya ini membaca pembukaan dan akhir dari seluruh kitab-kitab itu. Dan subhanallah, setelah seluruh kitab itu dibaca pembukaan dan akhirnya, anak sang guru ini dalam waktu sehari mampu membaca kitab kuning apa saja.
            Setelah beliau wafat, seorang temannya datang ke Sampang, dia bercerita: saya begitu kaget mendengar KH. Sanwani sudah wafat. Karena kemarin beliau datang kerumah saya katanya dalam perjalanan ke suatu tempat. Beliau hanya ingin bersilaturrahmi sebentar, beliau juga sempat melaksanakan solat dhuha di rumah saya. Kemudian saya bertemu dengan teman dan saya ceritakan kedatangan KH. Sanwani ke rumah saya, dan saya mendapat kabar darinya bahwa sudah lama KH sanwani wafat.
            Beberapa orang yang beribadah haji ke makkah juga menceritakan pertemuannya dengan KH. Sanwani setelah wafatnya. Wallahu a’lam bi al shawwab.
            Beliau meninggalkan wiratsah yang tak terputus, murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama dan mempunyai pondok pesantren. Di antara mereka adalah: KH. Tabrani pengasuh pesantren cikobak, KH. Markawi pengasuh pesantren Sidayu, KH. Suhaimi pengasuh pesantren Bolang, KH. Sahri pengasuh pesantren Sindang Asih, KH. Muslih pengasuh pesantren rencalang, KH Raswani Kepaksan, Kiayi Fudoli Ketapang, KH. Sudrajat Ardani Pengasuh pesantren Al-ardaniyah Serang, dan penulis sendiri yang mengasuh pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka di Kresek Tangerang.
           



1 komentar:

  1. alhamdulillah syukron tas informasinya,mdh2n membuat motivasi tuk semakin cinta pada para amin

    BalasHapus