Kamis, 22 Maret 2012

JAWARA BANTEN


JAWARA BANTEN
DAN
DEMOKRASI KONTEKSTUAL[أ‌]

                                                    Oleh:
 Imaduddin Utsman, MA.[ب‌]

Pendahuluan
            Runtuhnya rezim Suharto tahun 98 membawa angin segar bagi upaya membangun Negara Indonesia yang demokratis. Negara-bangsa yang menghormati hak-hak warga negara, baik hak-hak sipil (civil citizenship), hak-hak politik (political citizenship) maupun hak-hak sosial dan ekonomi (social & economic citizenship). Namun lazimnya negara yang berada pada masa transisi demokrasi, proses demokratisasi di Indonesia masih menyisakan masalah-masalah. Transisi demokrasi di mana-mana menghasilkan proses formasi baru kelembagaan politik yang berpusar pada usaha sistematis yang bersifat terbuka untuk mengatur kembali hubungan antara lembaga negara, masyarakat (civil socity), Negara (state) dan elit.[1] Tak jarang proses formasi baru ini bermuara kepada terjadinya benturan sosiologis-psikologis akibat telah terpatri dan mengkristalnya nilai-nilai yang tidak demokratis yang diwariskan rezim Orba selama 32 tahun. Belum lagi euvoria demokrasi yang berlebihan yang telah lama membuncah akibat tekanan rezim yang otoriter.
            Masalah juga terjadi ketika identitas-identitas kultur lokal dan idelogis-religious yang selama ini tenggelam (baca: berusaha untuk ditenggelamkan rezim), kecuali, mungkin, identitas kejawen, berusaha untuk muncul kepermukaan dan mewarnai proses demokratisasi yang berjalan. Kearifan lokal sebenarnya bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi demokrasi, karena selain demokrasi memiliki nilai-nilai yang universal seperti kesamaan di depan hukum, hak menentukan diri sendiri, hak menyatakan pendapat dan lain-lain, demokrasi juga mengakomodir idiom-idiom dan ekspresi-ekspresi lokal yang membuat nilai-nilai besar dan umum itu dapat difahami dan dihayati secara konkret dalam suatu konteks yang khusus. Inilah yang kita fahami sebagai konsepsi demokrasi kontekstual (Contextual democracy). Masalah akan muncul ketika atas nama demokrasi identitas-identitas ini menggunakan praktik-praktik yang tidak demokratis untuk mencapai tujuan.
            Salah satu identitas lokal yang muncul pada masa reformasi adalah kelompok kaum jawara (Sunda. Jawa, juwara atau jwara) yang merupakan sub-kultur dari masyarakat Banten. Berbagai organisasi yang menghimpun kaum jawara muncul pasca lengsengnya Suharto, baik yang berkedudukan di wilayah Banten unsich, maupun yang merambah daerah lain di Indonesia.
            Tulisan ini tidak akan spesifik membahas organisasi kaum jawara dan eksistensinya saat ini, tapi lebih akan membahas bagaimana sub-kultur jawara bisa muncul di Banten dan bagaimana jawara  di tempatkan sebagai individu yang karena sifat-sifatnya diakui oleh masyarakat sebagai jawara. Bukan karena dia berada di organisasi jawara kemudian langsung menyebut dia sebagai jawara. Kemudian dari pengakuan karena sifat-sifat ini ditakar dengan nilai-nilai demokrasi yang universal.

Sejarah Jawara Sebagai Sub-kultur Masyarakat Banten
             Pakar sejarah, Djajadiningrat, menyatakan bahwa Belanda pertama kali datang ke nusantara melalui pelabuhan Banten pada tanggal 23 Juni 1596. Dengan dipimpin oleh Cornelis de Houtman, empat buah kapal berlabuh di pelabuhan Banten dengan tugas utamanya mencari rempah-rempah dan membawa komoditas perdagangan itu ke negerinya.[2] Namun pada perkembangannya keberadaan Belanda di Banten  tidak hanya untuk membeli rempah-rempah, mereka juga mengganggu jalur perdagangan laut antara Banten dan daerah lain. Pada suatu malam orang-orang Belanda merompak kapal dagang dari Mataram sehingga membuat Mangkubumi Jayanegara (Perdana menteri) marah dan menangkap pimpinan mereka Cornelis de Houtman. Setelah di penjara selama hampir sebulan akhirnya Cornelis dilepaskan dengan tebusan 45.000 Golden kemudian diusir dari Banten pada tanggal 02 Oktober 1596.[3]
Rombongan Belanda kedua datang pada tanggal 28 Nopember 1598 di bawah pimpinan Jacob van Neck, tidak untuk mengulangi nasib yang sama seperti Cornelis de Houtman, Jacob datang dengan santun dan bermartabat sebagai seorang pedagang. Bahkan ia datang sowan ke Sultan dengan membawa bermacam-macam hadiyah[4]. Lambat laun watak penjajah orang-orang Belanda muncul. Dengan kekuatan yang semakin besar pasukan Belanda pelan-pelan berusaha untuk menguasai dan memonopoli perdagangan di Banten dengan berkedudukan di Batavia. Maka muncullah pertentangan-pertentangan yang kemudian menjadi peperangan-peperangan. Ketegangan dan peperangan antara kesultanan Banten dan Belanda terjadi sampai keruntuhan kesultanan Banten pada awal abad 20.
Setelah kesultanan Banten runtuh, perlawanan terhadap Belanda tidak berhenti, dilanjutkan oleh para kiayi dan pengikutnya. Memang otoritas kepemimpinan masyarakat Banten semenjak awal berdirinya kesultanan tidak lepas dari kepemimpinan ulama. Sultan pada kesultanan Banten selain sebagai pimpinan negara dan pemerintahan ia juga sekaligus sebagai ulama. Bahkan sultan pertama dan kedua Banten tidak menggunakan gelar sultan tapi menggunakan istilah maulana, sebuah istilah keagamaan untuk seseorang yang memiliki ilmu makrifat yang dikenal dalam tradisi tasawwuf. Gelar sultan dipakai hanya untuk menghormati pemberian gelar yang diberikan pemimpin Negara Arab. Penghormatan rakyat terhadap sultannya tidak lebih sebagaimana layaknya penghormatan terhadap ulama. Jadi jangan dibayangkan dulu rakyat Banten  datang menghadap sultannya dengan berjalan lutut di pendopo atau bersujud memohon ampunan baginda, sama sekali hal itu tidak terjadi. Egaliter adalah salah satu ciri masyarakat Banten. Semakin tinggi religiousitas seorang sultan, semakin tinggi pula kharisma dan kecintaan dan kesetiaan yang ditunjukan rakyatnya.
Tidak heran jika sejarah mencatat, ketika seorang sultan berada di luar batas-batas norma agama atau etika budaya masyarakat, rakyat bergerak untuk melengserkan sultan. Hal ini pernah terjadi ketika pada tahun 1750 Kiayi Tapa dan Tubagus Buang menggerakan rakyat untuk melengserkan Sultan Syarif yang baru diangkat sebagai sultan dengan dukungan penuh VOC Belanda. Yang pada akhirnya pemberontakan itu memaksa Sultan Syarif yang dianggap rakyat sebagai antek penjajah kafir turun tahta.[5]
Milisi sipil yang digerakan ulama terus bermunculan ketika Belanda telah benar-benar menjajah Banten pasca runtuhnya kesultanan tahun 1808. Dengan semangat jihad, semangat anti kafir bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme rakyat Banten mengadakan perlawanan melawan penjajah Belanda.[6] Darah panas rakyat Banten yang selama ini terpendam oleh keindahan Islam-sufi membuncah dan tersalurkan dengan berperang membela negeri dan agama. Mereka yang mengikuti seruan ulama dan berdiri di garis depan dalam perlawanan melawan penjajah inilah cikal-bakal munculnya sub-kultur baru dalam masyarakat Banten yang kemudian dikenal dengan sub-kultur jawara.
Tercatat dalam sejarah bagaimana gigihnya jawara-jawara Banten dalam melawan Belanda. Pada tahun 1809 terjadi perlawanan "Bajaklaut" yang dipimpin para jawara dalam menentang pembangunan pangkalan militer penjajah di Ujung Kulon. Kang Nuriman, Kiayi-jawara dari Pasir Peuteuy Pandeglang, mengadakan pemberontakan untuk memaksa Belanda  mengangkat kembali seorang sultan. Pada tahun 1811, Mas Jakaria, jawara Banten dari selatan, Melakukan perlawanan terhadap Belanda dan berhasil menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Namun, beberapa bulan kemudian ia berhasil ditangkap Belanda kemudian dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal kepalanya dan dibakar.[7]
Setelah terbunuhnya Jawara Banten dari selatan, hampir setiap tahun terjadi kerusuhan di Banten yang dipimpin para kiayi dan jawara. Misalnya perlawanan yang dipimpin oleh Ki Adam, Ki yamin, Ki Utu, Ki Ikrom. Pada tahun 1815 pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Kang Nuriman mengepung Pandeglang. Pada tahun 1818 dan awal tahun 1819, Haji Tasin, Mas Haji, dan Mas Raka memimpin perlawanan di Lebak dan membunuh orang-orang pribumi yang menjadi antek dan pegawai pamongpraja Belanda. Selanjutnya pada tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Arya dan para ulama. Khusus pada tahun 1836 terjadi perlawanan yang dipimpin seorang perempuan bernama Nyimas Gamparan di Balaraja yang kemudian dapat dipatahkan oleh demang R. Kartanagara yang kemudian atas jasanya menangkap Nyimas Gamparan ia diangkat oleh Belanda menjadi bupati Lebak.[8]
Mas Jabeng, putra jawara Banten dari selatan, Mas Jakariya, pada tahun 1839 mengadakan perlawanan bersama Ratubagus Ali dan Pangeran Qadli, namun dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan Bupati Serang waktu itu.
Di Serang terjadi pemberontakan yang dipimpin kiayi Kharismatik yang bernama Ki Wakhiya, selama enam tahun bersama pendamping setianya yaitu Tubagus Ishak, Mas Diad, Mas Berik dan Nasyid mengobarkan semangat perang sabil melawan pemerintah kolonial. Namun akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada tahun 1856. Pada tanggal 13 Desember tahun 1845 terjadi penyerbuan para petani di Cikande terhadap para tuan tanah yang digerakan oleh keturunan jawara Banten dari selatan, Mas Jakariya. Akibat serbuan itu seorang tuan tanah PJ. Kampuys beserta isteri dan kelima anaknya terbunuh, ikut juga beberapa orang eropa yang terbunuh seperti Pes Viering beserta isteri dan empat anaknya, dan Wanbert de Puiseau. Akhirnya dengan tambahan pasukan dari Batavia, pemberontakan ini dapat di hancurkan, sebanyak 384 orang ditangkap, sedangkan yang lainnya dapat meloloskan diri ke daerah sekitar.[9] Di antara yang berhasil meloloskan diri tersebutlah nama Ki Buyut Pasar, seorang jawara sakti yang berambut panjang yang melarikan diri ke kresek kemudian menetap dan berketurunan di kampung Talok. Kuburannya sekarang sering diziarahi orang.
Di Ciomas, Arpan dan gerombolannya membunuh camat Ciomas pada tanggal 22 februari 1886. Idris dan pasukannya membunuh 40 pegawai Belanda pada tanggal 20 Mei 1886.[10] Peristiwa ini disesalkan sejarah karena yang menjadi korban mayoritas adalah warga pribumi.
Pada tahun 1888 terjadi peristiwa "Geger Cilegon". Yaitu sebuah pemberontakan yang dipimpin kiayi-kiayi tarekat dari Banten pesisir utara. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Syeikh Abdul Karim dari Tanara, seorang penyebar tarikat Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang juga sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, diikuti oleh murid-muridnya seperti Ki Syadeli dari Kaloran Serang, Ki Asnawi dari Lampuyang Tirtayasa, Ki Abubakar dari Pontang, Ki Tb. Ismail dari Gulacir, Ki Wasid dari Beji  dan Ki Marzuki dari Tanara. Sebagai panglima oprasi ditunjuklah Ki Wasid dan Tb. Ismail. Pemberontakan ini berhasil membunuh orang-orang  Belanda di cilegon termasuk asisten residen Gubbels.[11]
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa pemberontakan masyarakat Banten yang digerakan oleh para ulama dan jawara, seperti pemberontakan yang terjadi pada tanggal 13 Nopember 1926 yang dipimpin Kiayi Agung Asnawi dan menantunya KH. Tb. Ahmad Khatib yang kelak menjadi residen Banten pasca kemerdekaan.[12]
Melihat alur perjalanan masyarakat Banten yang diterpa berbagai macam pergolakan, maka sangatlah logis bila kultur masyarakat Banten untuk kemudian waktu masih dipengaruhi semangat itu. Namun relative minimnya tekanan pasca kemerdekaan membuat semangat itu tidak tersalurkan. Tercatat pasca kemerdekaan hanya satu kali terjadi pemberontakan, yaitu yang digerakan oleh Ce Mamat pada bulan Oktober 1945 yang menuntut residen Banten KH. Ahmad Khotib untuk memberhentikan para priyayi yang dulu bekerja untuk Belanda dan jepang.[13]
Para  pejuang yang terjun dalam berbagai aksi pergerakan itu kemudian mewariskan jiwa dan semangat pergerakan pada turunan mereka. Para turunan inilah yamg kemudian bermetamorfosis menjadi sub-kultur khas di banten yang di kenal dengan nama Jawara atau juwara yang bermakna sederhana "orang yang memiliki kelebihan" atau "orang yang  menang" atau pemenang. Sebuah ungkapan untuk orang-orang yang memiliki kelebihan dalam keberanian dan kepedulian pembelaan terhadap orang lain. Adapun pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa jawara berderivasi dari kalimat Bahasa Arab "jawhara" yang berarti  "intan" kurang bisa dipertanggung-jawabkan, karena makna "jawhara" sama sekali tidak dipakai dalam gaya bahasa arab untuk mengungkapkan keunggulan, ia lebih dipakai untuk sebuah kata benda dan kadang digunakan sebagai majaz untuk mengungkapkan keindahan. Sama tidak berdasarnya dengan pendapat yang mengatakan bahwa jawara adalah singkatan dari  "jalma wani rampok" yang berarti orang yang berani merampok, atau "jalma wani rahul" yang berarti orang yang berani gegabah. Pendapat ini bisa dibantah oleh kenyataan tidak lazimnya penamaan berdasarkan singkatan dalam masyarakat Banten pada waktu munculnya istilah jawara.


Makna Jawara dalam Dilema
            Dalam tata bahasa Jawa di Banten dikenal istilah "bergajul" yaitu ungkapan untuk orang yang melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Para perampok, maling, orang yang suka meresahkan, sok jagoan dan pengangguran yang berkeliaran mereka ini di sebut orang-orang bergajul. Namun belakangan oran-orang yang memiliki sifat-sifat seperti di atas kadang-kadang juga disebut jawara.
            Penulis pada suatu kesempatan bertemu dalam sebuah acara di Petir dengan Tb. Triayana Syam'un, mantan Ketua Umum Pengurus Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten, ia mengungkapkan bahwa yang dinamakan jawara  sekarang adalah sosok seperti Buya Dimyati Cadasari dan Abah Bustomi Cisantri. Penulis tidak mengetahui criteria apa yang menjadi takaran Triayana sehingga menyebut dua sosok kiayi paling kharismatik di Banten itu sebagai Jawara. Yang jelas di tempat penulis (Kresek) kadang-kadang ada mantan perampok yang juga disebut jawara. Guru pencak silat Paku Banten juga disebut jawara. Seorang pedagang di pasar sabtu di Kresek yang menolak relokasi kemudian ia disebut pedagang jawara. Seorang yang yang dirampok kemudian dapat melumpuhkan perampok disebut jawara, sementara perampoknya juga dikenal sebagai jawara. Bila ungkapan atau penamaan jawara sampai kepada orang yang diletakan nama jawara itu kepadanya, semuanya menerima dan tidak keberatan disebut sebagai jawara.
            Maka makna jawara berada dalam dilemma. Siapakah sesungguhnya jawara itu?
            Untuk mendapat jawaban itu memerlukan kajian teoritis-historis yang komprehensip. Tulisan singkat ini tidak mungkin dapat menjadi referensi memuaskan untuk kajian itu. Namun dilihat dari kenyataan diterimanaya istilah dan penyebutan jawara bila diberikan kepada individu dari berbagai posisi social di Banten, penulis bisa memberikan jalan pada pembaca untuk mengenal sifat dan criteria jawara yang diidamkan oleh yang mengemban nama itu, dengan menarik sifat-sifat yang khas dan positif dari berbagai posisi social yang disebutkan di atas.
            Pertama, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat-sifat ideal dan positif kiayi, seperti rajin ibadah, tawaddu', keikhlasan, kesabaran, kebijaksanaan, keilmuan, qona'ah (menerima nikmat dengan bersyukur), membimbing,  dsb.
            Kedua, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat ideal guru silat seperti kedigjayaan, penguasaan terhadap kanuragan dan mau mengajarkan kemampuan terhadap orang lain.
            Ketiga, sifat-sifat jawara yang diambil dari sifat-sifat ideal pejuang pergerakan (termasuk orang-orang yang berani melawan arus demi membela kepentingan haknya dan orang lain) seperti keberanian, rela berkorban, membela tanah air dan agama, tabah menghadapi konsekwensi dari sebuah perjuangan.
            Keempat, sifat-sifat jawara yang diambil dari bergajul, perampok dsb. seperti ketegasan sikap, keberanian bergerak, telenges (berani mengambil sikap kasar jika diperlukan), setia kawan dsb.
            Dari sifat-sifat ideal itu kita dapat mengurutkan tingkatan jawara berdasarkan kelengkapan seorang jawara akan sifat-sifat tersebut, sebagai berikut:
  1. Jawara Brahmana, yaitu jawara utama yang memiliki ilmu para ulama keberanian para ksatria, kedigdayaan para guru silat, yang rela berkorban demi kepentingan rakyat, Negara, dan agama. Ia akan berada di baris depan dalam membela kepentingan rakyat untuk mendapatkan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan. Untuk terwujudnya hal itu ia berani bersikap telenges terhadap orang-orang yang membuat rakyat menderita.
  2. Jawara Ksatria, yaitu jawara yang memiliki semua sifat-sifat jawara brahma kecuali keilmuan  ulama.
  3. Jawara Syudra, yaitu jawara yang memiliki keberanian bergajul, ilmu silat para guru silat, tapi hanya mencari keuntungan pribadi tanpa mau peduli dengan kepentingan rakyat, negara dan agama.
  4. Jawara Cidra, yaitu jawara yang hanya punya keberanian mengancam, tidak memiliki ilmu silat, sok jagoan dan meresahkan masyarakat.

Jawara  Dalam Konteks Demokrasi kontekstual di Banten
Dalam sub-judul ini istilah jawara yang dimaksud adalah jawara yang tergolong dalam kategori jawara brahmana dan jawara ksatria, karena agaknya dua golongan jawara inilah yang dimaksud dalam suasana kebatinan masyarakat Banten dalam memahami istilah jawara. Dalam konteks demokrasi kontekstual terdapat nilai-nilai universal yang akan penulis coba takar dengan sifat perjuangan dari kedua jenis jawara ini untuk kemudian diurut benang merah keduanya untuk mendapatkan sebuah persamaan sikap dalam konteks pemahaman peran masyarakat dalam demokrasi.
Demokrasi kontekstual adalah pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah nilai yang bersifat universal. Walaupun demikian, terdapat kesempatan untuk melakukan kontekstualisasi demokrasi melalui penyertaan cirri-ciri lokal, bahkan partikular, untuk pengembangan demokrasi. Persyaratan pengintegrasian nilai-nilai particular dan lokal diletakan pada kepercayaan  bahwa yang disebut terakhir ini tidak mengurangi esensi nilai universal demokrasi. Dengan kata lain, pengintegrasian nilai particular dan lokal harus memperkuat nilai universal dari demokrasi.[14]
Jawara sebagai sub-kultur masyarakat Banten yang menjadi penggerak dari berbagai macam perubahan social sejak dulu mempunyai nilai strategis-historis untuk membawa masyarakat Banten lebih demokratis.
Watak egaliter yang dimiliki masyarakat Banten bergaris lurus dengan nilai universal demokrasi yakni persamaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-judul sebelumnya bahwa walaupun Banten pernah mengalami masa jaya sebuah kekuasaan monarki, namun hubungan antara sultan sebagai penguasa dan rakyat yang dikuasai tergambar tidak seperti yang terjadi di pemerintahan monarki yang lain. Rakyat Banten memandang sultan sebagai lambang dari kedaulatan yang mereka miliki, dan mewakili mereka dalam menjalankan pekerjaan politik. Bila penyelenggara ini tidak senada dengan keinginan luhur mereka maka tak segan mereka menyatakan pendapat bahkan memberontak.
Perjuangan para jawara dalam membebaskan rakyat dari penjajahan dan penindasan bergaris lurus dengan nilai-nilai universal demokrasi yakni kemerdekaan warga dan keadilan.
Sementara perlawanan para petani  yang digerakan oleh para jawara di tanah partikelir Cikande Udik adalah sebuah tuntutan kesejahteraan masyarakat yang nilai ini juga diperjuangkan oleh demokrasi.
Substansi demokrasi nampaknya telah tersedia dan berjalan dalam kehidupan social masyarakat Banten. Namun prosedur demokrasi masih memiliki masalah tentang apakah prosedur itu telah betul-betul menjamin bahwa demokrasi itu dari rakyat oleh rakyat atau belum. Dan apakah para pemimpin itu telah memiliki syarat pemimpin yang demokratis, yaitu kompetensi dan integritas selain konstituensi.Wallahu a'lam


           


             



[أ‌] Makalah Untuk Diskusi Publik yang diselenggaraka oleh Sekolah Demokrasi Indonesia Kabupaten Tangerang, di Gedung Korpri Kota Tangerang, Sabtu, 23 Mei 2009
[ب‌] Peserta Sekolah Demokrasi Indonesia Kab. Tangerang angkatan III


[1] Danil Sparringa, Respon elit politik Terhadap Transisi Demokrasi, dalam, Konsepsi Demokrasi, seri simpul demokrasi, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)(Jakarta: KID, 2009). h 46
[2] Djajadiningrat, Critische Beschowing Van de Sadjarah Banten (Leiden: Jhon Enschede en Zenen, 1937) h. 171
[3] Halwani Michraob dan Mujahid Hudari, Catatan Masalalu Banten, (Serang: Saudara, 1993). h. 96
[4] Djajadiningrat, Op.cit, h.169
[5] Ekadjati, Kesultanan Banten Dan hubungannya dengan Wilayah Luar, dalam Banten kota Pelabuhan Jalan Sutra (Jakarta: Depdikbud, 1990) h. 88  
[6]  Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah (Jakarta: LP3ES, 2003) h.99
[7] Halwani Michrab & Mujahid Hudari, Opcit, h.186
[8]  Nina Lubis, Op.cit, h.102
[9]  Nina Lubis, Op.cit, h. 104
[10] Kartodirjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia  (Yogyakarta: Aditya media, 1991)h.26
[11]  Nina Lubis, Op.cit, h.112
[12]  Nina Lubis, Op.cit, h. 142
[13] Lihat Suharto, Banten dalam Masa Revolusi (Bandung: setya Historika, 2000) h.114
[14]  Danil Sparrina, Op.cit, h.47

1 komentar: