Jumat, 17 Februari 2012

SYEKH HASURI TOHIR





SYEKH AHMAD HASHURI BIN THAHIR AL-KALURANI AL-BANTANI
(BUYA KALORAN)

Oleh:
KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
(Pengasuh ponpes Salafiyah Nahdlatul ulum Cempaka Kresek Banten)

Nama lengkapnya adalah  Tubagus Ahmad Hashuri bin Tb.Ahmad  Thohir bin Tb. Ali bin Tb Soleh bin Tb. Hafidz bin Pangeran Qodli bin Sulthan Zaenal Asyiqin bin Sultan Haji bin Sultan Agung Tirtayasa bin Sulthan Abu Maali Ahmad bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir bin Sulthan Maulana Muhammad Nashruddin bin Maulana Yusuf bin Sulthan Maulana Hasanuddin.
Lahir dari seorang wanita solihah  bernama Hj. Hafsah binti Hasan pada tanggal 30 desember tahun 1930 di Kaloran kidul serang Banten.
Mengaji pertama kali ilmu alqur’an dan qiroat kepada syaikhul Qurro Al-Alim Al-Qaari Syekh Soleh ma’mun Al-lantary Al-Bantani di Lontar. Kemudian pada umur limabelas tahun tepatnya tahun 1945 dikirim oleh ayahandanya ke Pesantren Pelamunan asuhan Alimu zamanihi Al-Syekh Tohir al-Falamuni al-Bantani. Kelak Syekh Tohir al-falamuni al-Bantani mengangkat Ahmad Hashuri menjadi menantunya.
Ketika mesantren di Pelamunan satu kurun dengan KH. Abdul Muin lontar, KH. Abdul Aziz kelapa dua dan Syekh suhaimi As-Sasaki al-Bantani kronjo.
Setelah tiga tahun mesantren di pelamunan, pengelanaan Syekh Ahmad hashuri diteruskan ke Pesantren Kadupesing Pandeglang asuhan Syekh Tb. Abdul Halim dan Syekh Ace Syadzeli yang merupakan kemenakan Syekh Abdul Halim sendiri. Syekh Abdul Halim pernah di amanatkan oleh KH. Tb. Ahmad Khotib (residen Banten pasca kemerdekaan) sebagai Bupati pandeglang. Syekh Abdul Halim bagi Syekh Ahmad Hasuri selain sebagai guru ia juga adalah kakek guru karena Syekh Tohir pelamunan juga pernah nyantri di Kadupesing. Syekh Tohir pelamunan selain nyantri di Kadupesing juga nyantri di pesantren Kaloran asuhan Syekh Yahya al-kalurani al-Bantani dan di pesantren asuhan Syekh Husain Carita.
Di Pesantren kadupeusing Syekh ahmad Hasuri satu kurun dengan Syekh Muhammad Dimyati (Buya Dimyati) cidahu. Di pesantren ini syekh Ahmad Hashuri hanya delapan bulan karena kemudian ia dinikahkan dengan putri Syekh tohir pelamunan yang bernama Hj. Nadrah.
Setelah menikah beberapa saat, syekh Hasuri meneruskan pengelanaan ilmiyahnya ke Makkah al-mukarromah pada tahun 1950 tanpa membawa isteri. Di Makkah ia tinggal di rumah Syekh Nawawi al-Tanara al-bantani di syib Ali. Waktu itu rumah Syekh Nawawi di tempati oleh cucu Syekh Nawawi yang bernama Sayyidah ma’tuqah dan sayyid ali.
Di Makkah al-Mukarromah Syekh Hasuri belajar kepada para ulama terkemuka pada waktu itu yaitu syekh Muhammad Amin Quthbi, Syekh Hasan bin Muhammad al-Masyath (Muhaddisul haramain), Syekh abdul Qadir al-mandaili, Sayyid Alawi al-Maliki dll.
Syekh Hasuri mengkaji kitab Fathul muin dan tafsir jalalain di masjidil haram kepada Syekh Abdul Qodir al mandaili. Sedangkan kepada Syekh Muhammad Amin Quthbi mengkaji ushulul Fiqh. Mengkaji ibnu Aqil dan kitab Attarghib wattarhib kepada Sekh Sayyid Alawi al-maliki. Mengkaji alfiyah ibnu malik dan Syawahidul Haq  kepada syekh Baljihi Al-mishri. sementara kepada Muhaddisul haramain Syekh Hasan Al-Masyat mengkaji ilmu hadis.
Setelah menetap dua tahun di makkah isteri syekh Hashuri menyusul ke Makkah di antar oleh kakaknya Syekh Zeni bin tohir yang di kenal dengan Kiayi inting. Di Makkah lahirlah putranya yang pertama yang bernama tubagus Nuruddin (kelak mengasuh pesantren di pelamunan).
Setelah lima tahun tinggal di makkah kemudian pindah ke Toif. Di Toif selain menuntut ilmu ia juga dipercaya mengajar di Madrasah suudiyah. Kecemerlangan otak Syekh Hashuri membuat Mudir Madrasah assuudiyah tertarik untuk menariknya sebagai pengajar, padahal sangat sulit orang ajami dapat mengajar di madrasah resmi pemerintah Saudi.
Di toif beliau mengkaji kitab Ibnu katsir kepada seorang ulama mesir. Anaknya yang kedua yang bernama tubagus Abbas lahir di kota Toif ini. Namun pada usia 16 tahun Abbas meninggal di Banten.
Setelah dua tahun tinggal di Toif, syekh hasuri tak dapat menahan kerinduannya untuk pulang ke negerinya Banten. Di Banten ia tidak tinggal di Pesantren pelamunan tapi lebih memilih menyebarkan ilmu di kota Serang di kampung halamanya Kaloran. Ia memimpin madrasah Khaerul huda di Kaloran dan Al-insaniyah milik gurunya Syekh Soleh Ma’mun Al-bantani di Lontar.
Di sela-sela kesibukannya mengajar di kedua madrasah itu, beliau berdagang emas di pasar lama Serang meneruskan ayahnya yang merupakan saudagar emas di kota itu.
Kesibukan mengajar dan berdagang tidak menyurutkan kehausannya akan ilmu. Beliau sering bepergian di bulan ramadlan untuk mengaji pasaran ke berbagai pesantren dari mulai Banten sampai ke Jawa.
Pada tahun 1970 ketika umurnya genap 40 tahun Syekh hashuri tahir mendirikan pesantren At-thohiriyah di Kaloran. Berdatanganlah para santri dari berbagai daerah. Setiap hari ahad beliau mengadakan pengajian mingguan kitab Ihya ulumuddin di pesantren. Para kiayi dan masyarakat mengikuti pengajian ini.
Ulama yang pandai berbahasa inggris, Jerman dan arab ini selain menikah dengan hj. Nadrah beliau juga menikah dengan Hj. Mahfudzah dari menes dan di karuniai 9 anak.
Semoga Allah memanjangkan umurnya. Amin.



KH. AHMAD BUSTHOMI
(BUYA CISANTRI)




         
Oleh:
Imaduddin Utsman


Nama lengkap beliau adalah Ahmad Bushtomi bin Ahmad Jasuta. Beliau adalah pendiri dan pengasuh pesantren salafiyah Al-hidayah Cisantri, Cipeucang, Pandeglang Banten.
          Istiqomah dalam kesantrian dan keulamaan adalah kata yang bisa diungkapakan untuk menggambarkan kiayi yang kharismatik ini. Waktunya habis untuk mengajar para santri dan beribadah kepada Allah Swt. Santri dan masyarakat sekitarnya memanggilnya Buya Busthomi. Panggilan Buya adalah panggilan untuk kiayi yang telah melampaui derajat tertentu dalam ilmu dan makrifat.
          Kezuhudan dan wara adalah prinsip hidup yang dipegangya erat-erat. Ketegasan dan keberanian adalah sifat yang menonjol dari Buya Bushtomi. Di samping memang ilmu kedikjayaannya telah banyak yang membuktikan.
Dihikayatkan ketika awal-awal Buya mendirikan pesantren banyak mendapatkan tantangan dari berbagai kelompok masyarakat. Bahkan ada yang bermaksud mengusir beliau. Puluhan orangpun telah mengepung rumah beliau dengan berbagai macam senjata tajam. Beliau bukan malah takut, beliau mencabut pohon yang cukup besar yang ada di sekitar rumahnya. Kelompok pengepung itupun gentar dan mengurungkan niyat jahat mereka.
Beberapa kali Buya berurusan dengan pihak kepolisian karena membela santrinya yang menghadapi masalah. Bahkan Buya pernah dipenjara karena hal tersebut. Dihikayatkan pada awal tahun sembilanpuluhan ada santrinya yang dipukuli kondektur sebuah mobil bus. Kemudian puluhan santri mencegat Bus itu sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan seorang kondektur terluka akibat bacokan santri. Akhirnya pihak managemen bus itupun melaporkan santri Al-hidayah ke pihak kepolisian. Sebagai pengasuh pesantren Buya Bustomi bertanggung jawab atas apa yang dilakukan santri-santrinya itu. Buya pun ditahan di kantor kepolisian.
Ketika proses hokum itu berjalan, perusahaan bus itu mengalami kerugian besar. Banyak penumpang yang enggan menaiki bus itu karena takut kewalat kepada Buya Bustomi. Dan memang banyak bus dari perusahaan itu yang mengalami berbagai macam kecelakaan. Mungkin itu adzab tuhan bagi orang-orang yang sombong kepada para ulama. Wallahu a’lam bi al shawwab.
Pada era Suharto berkuasa, Buya Bushtomi berada di luar pagar Suharto. Beliau mendukung partai berlambang ka’bah sebaga di partai yang berazaz Islam. Selain sebagai kecintaannya kepada Islam, dukungannya ke P3 adalah sebagai lambang perlawanannya kepada Suharto.  
Dihikayatkan, ketika masa kampanye P3 tiba, hari itu seluruh SPBU tidak ada bensin. Mungkin suatu kesengajaan agar kampanye P3 tidak semarak. Panitia pun bingung, padahal kemarin ketika kampanye Golkar, SPBU seluruhnya tidak kekurangan bensin. Akhirnya Buya Bushtomi, memerintahkan para peserta kampanye yang membawa kendaraan untuk mengambil air sawah untuk dijadikan bahan bakar. Awalnya banyak yang tidak yakin, namun akhirnya keyakinan kepada Allah melalui orang yang di cintai-Nya membuat para peserta menurut perintah Buya. dan subhanallah, hari itu seluruh kendaraan dapat berjalan sampai selesai kampanye hanya berbahan bakar air sawah yang di-jampi Buya Bushtomi. Wallahu a’lam.
Selain berani beliau juga adalah ulama yang sederhana, santun dan tawaddu. Penulis pernah bersilaturrahmi dengan beliau di rumahnya yang dari luar nampak cukup bagus tapi ketika sampai di dalam sungguh sangat sederhana. Hanya ada alas tak ada bangku mewah. Dan sebuah almari yang berisi kitab-kitab. Kesan galak yang selama ini penulis dengar, tidak nampak ketika berhadapan dengan beliau yang begitu santun menghadapi tamu-tamunya, termasuk penulis. Penulis juga nyantri kepada Buya pada bulan ramadlan untuk mengkaji kitab tafsir Marah labid atau yang lebih dikenal dengan tafsir munir karangan Syekh nawawi al-Bantani, ulama monumental asal Tanara Banten.




KH. MUHAMMAD DIMYATI
(BUYA DIMYATI CIDAHU)





Oleh:
Imaduddin Utsman

          Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui  Maulana Hasanuddin Sulthan Banten pertama.
          Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing,  pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
          Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur, Mbah Dalhar Watucongol,  Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru. Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan mereka rahimahumullah.
          Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di watu congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar  selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu  kamu ketahui di sini gak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan gak boleh punya teman.

Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau  menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.

 Di pondok Bendo pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.

          Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah  Ki Mufassir Padarincang, Abah ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.. 
          Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
          Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu penulis belum pernah bersilaturahmi kepada Buya. baru ketika penulis nyantri di Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik seperguruan Buya ketika di Kadupesing, penulis sering berziarah kepada beliau. Penulis mengikuti marhaban bersama beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian malam selasa bersama beliau. Waktu itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman.  Alhamdulillah penulis begitu beruntung ketika santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis tak menghiraukan pelajaran karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah Buya. yang begitu khusyu membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika mata indah itu memandangi penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma zid syarafah.
          Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak lama isteri penulis hamil. Kebetulan isteri penulis sedang berobat jalan ke dokter karena sebuah penyakit. Menurut dokter obat yang harus diminum ini harus rutin diminum sampai beberapa bulan. Dan obat ini bertentangan dengan kehamilan. Artinya bila terus meminum obat ini, kehamilan harus ditunda, kalau tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu itu dokter memberitahu penulis tanpa diketahui oleh isteri. Penulis bingung. Umur kandungan sudah dua bulan lebih, alangkah berdosanya dan yang paling mengganjal adalah, penulis adalah seorang santri yang diajarkan nilai-nilai kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh para kiayi. Masa iya penulis tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan dari sang dokter. Akhirnya penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya. Malam jum’at itu penulis berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap sampai di pesantren Buya sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan beliau. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan Buya. setelah marhaban, sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari majlis Buya. dipintu majlis telah menunggu  pembagi kue selimpo. Setiap habis marhaban santri dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu waktu subuh di kamar santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis di pesantren Sampang mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar tingkat yang sempit yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan.
          Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke majlis buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya. sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a. Penulis muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti Buya tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam hati penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk ke majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini.
          Derigen air sudah penulis kendurkan agar bila Buya selesai wirid, penulis langsung memohon didoakan. Do’a untuk isteri dan kandungannya. Buya berdehem masih menghadap kiblat. Kepalanya yang dibalut serban sepertinya agak menengok ke samping sedikit, agaknya buya ingin tahu siapa orang yang menunggunya  ini. Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis. Kemudian beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau sudah ada teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi bermaksud menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya Buya bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu? Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti bahasa sunda itu, yang artinya : dari mana ini? Penulis langsung berkata  sambil mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat lain yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri dan kandungannya pun  tak sanggup penulis ungkapkan. Haibah dan wiqar beliau begitu agung dan dahsyat.
          Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya ke derigen air itu, beliau meludahinya. Kemudian penulis pamit bermaksud mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau menariknya, seakan tak mau salaman lagi. Penulis agak maras, dalam hati penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis keluar dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika penulis sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung. Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu, penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat senyum bibir buya mengembang. Alhamdulillah, allahumma zid syarafah.
          Air yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis lahir dengan normal dan selamat serta penyakit isteri penulis itupun sembuh. Semua itu atas idzin Allah Swt. Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu.
          Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga kitab ashlul qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari, dan alhadiyyat  aljalaliyah tentang tareqat syadziliyah.
         
          Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat malam jum’at jam 03:oo WIB tanggal 07 sya’ban 1423 H. bertepatan dengan 03 oktober 2003 setelah bermarhaban baru selesai. Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadliyatam mardliyyah fadkhulii fii ibaadii wadkhulii jannatii.

Waalahu a’lam bi al shawwab….



 


KH. AHMAD WASI’
(BUYA PERTAPAN)


Oleh:
Imaduddin Utsman

         

          Nama lengkapnya adalah Ahmad Wasi’ul Hasan. Beliau adalah menantu Syekh Nawawi Mandaya bin Muhammad Ali pengarang kitab Murad al Awamil. Hidup sebagai pemuda pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Beliau ikut terjun ke medan perang bersama lascar Sabilillah. Di kisahkan beliau tidak segan-segan memenggal kepala tentara belanda di medan perang.
          Jiwa yang keras laksana batu karang kemudian beralih seratus delapan puluh derajat ketika beliau menjalani dunia sufi. Setelah tentara belanda minggat untuk kedua kalinya, KH. Wasi memilih tinggal dipesantren yang berada di kampong halamannya di kampong pertapan kecamatan Binuang kabupaten Serang.
          Beliau menjalani dunia sufi bertariqah al Qadiriyah wa Al Naqsyabandiyyah. Guru tariqah beliau adalah Syekh Aliyuddin Salib ulama kharismatik dari Kubak rante Bekasi.
          Hari-hari beliau dihabiskan untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Swt. Selain setiap hari pula beliau mengajar para santri yang seluruh biaya makan para santri itu ditanggung oleh beliau. Beliau tinggal digubuk bambu kecil di dekat rumahnya. Di tempat inilah beliau mengajar santri dan menerima tamu serta bertawajjuh kepada Allah swt.
          Kewaraan dan kejuhudan Buya Pertapan, demikian kemudian beliau dikenal, sudah terkenal oleh khalayak ramai. Beliau tidak mau menggunakan pengeras suara dalam setiap pengajian, khutbah dsb. Beliau juga tidak mau menerima sumbangan dari pemerintah untuk pesantrennya. Jalan akses menuju pesantren yang akan dibangun oleh pemerintahpun ditolak. Batu-batu yang sudah berada dilokasi diminta untuk diangkut kembali.
          Ketika perjuangannya selama perang sabilillah mendapat apresiasi pemerintah dan namanya tercatat sebagai veteran perang ia menolak untuk mengambil gajih veteran, karena baginya perjuangan membela Negara tak dapat di ukur oleh rupiah. Dikisahkan pula ketika beliau diundang mendatangi seorang pejabat untuk sebuah alasan yang sangat penting, ketika beliau pulang, pejabat ini menghadiahkan sebuah mobil mewah. Di tengah jalan, mobil mewah ini di jerumuskan oleh beliau ke jurang. Bagi beliau hidup di dunia ini tak memerlukan kemewahan seperti itu.
          Ketika penulis selama sebelas hari berada di pesantrennya untuk berijazah tariqah, dan itu adalah nikmat yang sangat besar bagi penulis, karena tidak setiap orang yang berkeinginan menjadi murid tariqahnya diterima, penulis mendapatinya setiap malam selalu merintih dihadapan Allah sampai pagi menjelang.
          Kepada murid-murid selain terkenal sebagai guru yang keras mendidik santri, beliau juga sangat perhatian dalam praktik ibadah santri-santrinya. Penulis pernah dipanggil untuk mempraktikan cara bersujud yang baik, kemudian dengan tangan beliau yang mulia kaki penulis disentuh untuk dapat memperaktikan posisi kaki yang sempurna ketika sujud.
          Silsilah Tariqah beliau sampai Rasulullah adalah, beliau mengambilnya dari Syekh Aliyuddin salib dari Syekh Abdul Muthallib Karawang, dari syekh Asnawi Caringin, dari syekh Abdul karim tanara, dari syekh ahmad khatib syambas, dari syekh syamsuddin Albagdhadi, dari syekh syarifuddin, dari syekh Muhammad murad, dari syekh Abdul Fattah, dari Syekh kamaluddin, dari  syekh Utsman, dari Syekh Abdurrahim, dari Syekh Abu Bakar, dari syekh Yahya, dari Syekh Hisamuddin, dari Syekh waliyuddin, dari syekh Zaenuddin, dari syekh Syarafuddin, dari syekh Syamsuddin, dari Syekh Muhammad Al hatik, dari Syekh Abdul Aziz, dari syekh Abdul qadir Al-jailani, dari syekh Abi said al-mahzumi, dari Abil husain al-Haegari, dari Abil farah Al-tartusi, dari abdul Wahid al-Taimi, dari Abi bakar Dulaf Al-Syibli, dari Junaid Al-baghdadi, dari Sirri Al-siqthi, dari Ma’ruf al-kurhi, dari Ali bin Musa al-ridlo, dari Musa al-kadzim, dari Ja’far al-Siddik, dari Muhammad al-Baqir, dari Ali zaenal Abidin, dari Husain bin Ali, dari Ali bin Abi Tholib dari Rasulullah saw.
          Murid-murid beliau banyak yang telah mempunyai pesantren dan menjalani dunia sufi, di antaranya: KH. Mufassir Padarincang, Buya Bahruddin Kasemen, KH. Anjani Bolang, dll.





SYEKH ABDUL KARIM AL-BANTANI  (L. 1840)
Oleh: KH. Imaduddin Utsman, S.Ag. MA.
(Pengasuh Ponpes Nahdlatul ulum Cempaka-Banten)

          Syekh Abdul karim Al-Bantani adalah seorang ulama asal Banten yang menjadi Khalifah tarikat Al-Qadiriyah wannaqsyabandiyyah di Asia tenggara dan Makkah al-mukarromah sepeninggal gurunya Syekh Khotib Syambas (w. 1875). Ia lahir di desa Lempuyang kecamatan Tanara kabupaten serang Banten pada tahun 1840 m. beliau adalah putra Ki Mas Tanda, turunan bangsawan Banten melalui jalur Pangeran Sunyararas putra Sulthan Maulana Hasanuddin. Silsilah lengkapnya adalah, Syekh Abdul Karim bin Mas Tanda bin Ki Mas Ruyani bin Ki Mas Ahmad Matin bin Ki Mas Ali bin  Ki Mas Bugel bin Ki Mas Jamad bin Ki Mas Janta bin ki Mas Kun bin Pangeran Sunyararas Bin Sulthan Maulana Hasanuddin.
          Sulthan maulana Hasanuddin adalah seorang sulthan yang mempunyai keturunan sampai kepada rasulullah Muhammad saw melalui Adzomat Khan.
          Sebelum Syekh Ahmad khotib Syambas wafat, Syekh Abdul karim mendapat tugas dari gurunya tersebut untuk menjadi guru tarikat di Singapura selama beberapa tahun. Kemudian beliau pulang ke negerinya di Banten pada tahun 1872. ia menetap di Lempuyang Banten selama empat tahun untuk kemudian kembali lagi ke Makkah al Mukarromah setelah gurunya wafat pada tahun 1876 untuk menjadi penghulu tarekat Al-Qadiriyah Wannaqsyabandiyyah di Jabal Qubesy makkah.
          Di hikayatkan ketika kepergian beliau ke Makkah itu penduduk Banten berduyun-duyun mengantarkan beliau. Di antara mereka ada yang berdesak-desakan menunggu di jalan yang akan di lewati Syekh Abdul Karim sampai ke pelabuhan.
          Residen Banten khawatir dengan membeludaknya masa akan terjadi hal yang merugikan pihak colonial yang pada waktu itu telah terendus akan adanya pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah colonial. Akhirnya residen Banten mengalihkan jalur perjalanan Syekh Abdul Karim dari rute semula.
          Rencana semula dalam perjalanan itu Syekh Abdul Karim akan mampir di Karawaci di rumah almarhum Tumenggung Karawaci. Di sana akan ada pertemuan yang akan di hadiri masyarakat tarikat se Tangerang, Bogor dan sekitarnya. Yang menjadi tuan rumah adalah Raden Kencana isteri almarhum Tumenggung karawaci yang memiliki perkebunan kali pasir.
          Syekh Abdul Karim selain dikenal sebagai ulama ahli hokum Islam beliau juga diyakini sebagai waliyullah yang memiliki berbagai macam keramat. Ketika sungai cidurian banjir besar yang menenggelamkan wilayah-wilayah sepanjang jalur sungai Cidurian seperti daerah Cikande, Kresek, Gunung kaler, Lempuyang, Tanara dan Tersaba, Syekh abdul Karim selamat dari banjir tersebut padahal beliau berada di tempat yang banyak orang yang menjadi korban dalam bencana itu.
          Ketika masih mesantren di Makkah setiap santri mendapat tugas untuk bergilir mencari air. Ketika tiba giliran Syekh Abdul Karim tempat air ini sudah terisi air padahal syekh Abdul Karim belum mengisinya.
          Selain disegani dan dihormati para ulama beliau juga sangat disegani oleh para penguasa pada waktu itu. H. Raden A. Prawiranegara adalah mantan seorang patih yang sering berkunjung ke rumah beliau untuk memohon do’a.
          Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya baik yang di Makkah maupun di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Adapun murid-murid beliau dari Indonesia di antaranya Syekh Asnawi caringin-Banten, syekh Tolhah Cirebon, Syekh kholil Bangkalan-Madura, Syekh Marzuki Tanara, Syekh Sadzeli Kaloran-serang, Syekh abu Bakar pontang, syekh Tubagus ismail gulacir, Syekh Asnawi Bendung, syekh Abdullah Mubarok suryalaya, Syekh falak pegentongan Bogor, syekh Muhammad Amin Lombok, syekh Muhammad Sidik Mataram.
                   
          Perang Geger cilegon yang terjadi tahun 1888 mayoritas dimotori oleh para murid-murid beliau atas seruan jihad yang terus beliau gelorakan kepada murid-muridnya baik ketika di Makkah maupun di Banten.


1 komentar: